Siswi SMP Menikah di Lombok Tengah, Kena Denda Rp 2,5 Juta

Proses pernikahan ES (15) dan UD (17), siswa SMP asal Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah tidak mudah.

Tribunlombok.com/Sirtu
MENIKAH DINI: ES (15) tengah membuat kopi untuk tamu di rumah suaminya, di Desa Setiling, Batukliang Utara, Lombok Tengah. 

Laporan wartawan Tribunlombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Proses pernikahan ES (15) dan UD (17), siswa SMP asal Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah tidak mudah.

Setelah membawa calon istri ke rumahnya, UD harus membayar sejumlah denda yang diberlakukan sekolah dan pihak dusun.

Sebelum akad nikah, UD dan ES harus membayar denda sebesar Rp 2,5 juta. ”Kalau mau menikah bayar denda dua juta setengah,” kata ES, di rumahnya, Minggu (25/10/2020).

Denda itu terdiri dari Rp 2 juta untuk membayar ke sekolah, karena ES masih tercatat sebagai siswi kelas III SMPN 4 Batukliang Utara.

Sedangkan Rp 500 ribu lainnya untuk membayar uang “pelengkak” atau denda karena ES mendahuli kakaknya yang belum menikah.

Biaya tersebut dibebankan kepada pengantin laki-laki yakni UD.

Setelah proses negosiasi antar keluarga melalui kepala dusun, mau tidak mau UD dan ES harus membayar denda tersebut.

Baru setelah membayar denda prosesi pernikahan digelar. Keduanya melangsungkan akad nikah 10 Oktober dan resepsi, Sabtu 24 Oktober 2020.

Pernikahan kedua anak tersebut tanpa sepengetahuan Kantor Urusan Agama (KUA) dan aparat desa setempat.

Baca juga: Terlalu Lama Belajar di Rumah, Siswi SMP di Lombok Tengah Pilih Menikah

Baca juga: Sambut MotoGP 2021 di Lombok, Ayam Taliwang Dikemas Jadi Oleh-oleh

Baca juga: 43 Anak Kawin Lari di Lombok Berhasil Dilerai, Sebagian Diserahkan ke Pondok Pesantren

Abdul Hanan, Kepala Dusun Kumbak Dalam, Desa Setiling yang dikonfirmasi menjelaskan, sebenarnya sudah ada upaya untuk mencegah pernikahan kedua anak tersebut.

”Memang ada usaha dari pihak keluarga perempuan, tapi ya namanya suka sama suka itu sulit,” katanya.

Selaku kepala dusun, ia mengaku dilematis.

Kalau kedua anak itu dipisah atau dilarang menikah, ia justru khawatir dampak negatifnya.

”Kita tidak tahu pergaulan mereka di luar seperti apa,” katanya.  

Pihak dusun dan keluarga pun tidak berani melaporkan karena khawatir mereka dipisah. ”Nanti mereka dibelas (dipisah),” katanya.

Selaku kepala dusun, Abdul Hanan sebenarnya tidak mengizinkan mereka menikah karena masih anak-anak.  

”Tidak (saya izinkan), tapi mau tidak mau harus dinikahkan. Karena simalakama ini,” katanya.

Penerapan denda dari sekolah pun tujuannya untuk mencegah siswa menikah. ”Menyaring supaya anak-anak itu selesai dulu sekolah baru menikah,” jelasnya.

Tapi itu pun tidak mampu mencegah niat mereka menikah.

Sementara di satu sisi warga juga khawatir, bila mereka dipisah terjadi pergaulan bebas di luar.

Saat ini, kata Abdul Hanan, anak-anak susah dikontrol.

Menurutnya lebih susah mengontrol anak manusia daripada binatang.

”Kelurga kadang anggap dia pergi sekolah, tapi mereka keluyuran ke mana-mana,” katanya.

Pertimbangan itulah yang akhirnya membuat keluarga dan warga setempat menyetujui pernikahan tersebut.

(*)

 

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved