Opini

Bayang-bayang "Failed State" - Barometer yang Memburuk dan Membaca Gravity of Blame

Kkrisis demokrasi adalah kegagalan sistemik—dengan derajat tanggung jawab yang bertingkat

Tribunnews/Jeprima
UNJUK RASA - Seorang massa aksi unjuk rasa mengibarkan bendera Merah Putih ke arah barisan polisi di depan Gedung DPR, Jakarta Selatan, Kamis (28/8/2025). 

Oleh: Nurhadi Ihwani, MA
Dosen dan Pengamat Sosial

“Gagal” tidak pernah datang tiba-tiba; ia merembes dari penyebab-penyebab yang saling berkelindan: Ketika supremasi hukum lemah, korupsi mengental—ketika korupsi mengental, kebebasan sipil dan kualitas demokrasi merosot—ketika semuanya merosot, negara menjadi semakin rapuh. “Failed state” tidak hanya dalam arti runtuh, tetapi negara dengan gejala kerentanan yang parah. 

Barometer yang Memburuk (dan Apa Artinya)

Demokrasi: Democracy Index 2024 (EIU) menempatkan Indonesia pada skor 6,44 (peringkat 59 dunia)—kategori “flawed democracy”. Artinya pemilu ada, tapi kelemahan nyata di budaya politik, kebebasan sipil, dan kinerja institusi.

Hak Asasi & Kebebasan Sipil: Freedom in the World 2025 menilai Indonesia 56/100 (Partly Free), turun dari tahun sebelumnya. Ini menandakan hak politik dan kebebasan sipil makin tergerus. 

Rule of Law: World Justice Project 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 142 negara, dengan kelemahan khusus pada hak-hak fundamental (rank 89). Lemahnya kepastian hukum adalah pintu masuk impunitas dan korupsi. 

Korupsi: Corruption Perceptions Index 2024 memberi skor 37/100 (peringkat 99/180). Skor serendah ini berarti persepsi korupsi sektor publik masih akut dan cenderung memburuk. 

Kerentanan Negara: Fragile States Index 2024 mencatat skor kerentanan Indonesia 63,7 (peringkat 92), dengan tekanan pada indikator Group Grievance, Human Rights & Rule of Law, dan Security Apparatus. Negara ini bisa makin melemah jika gejalanya terus dibiarkan. 

Gravity of Blame—Siapa Paling Bertanggung Jawab?

Pertanyaan yang menggoda untuk dijawab dengan menunjuk satu kambing hitam. Sayangnya, krisis demokrasi adalah kegagalan sistemik—dengan derajat tanggung jawab yang bertingkat. Mari coba kita baca. 

1. Pemimpin Negara Nir-Visi & Koalisi Kekuasaannya. 
Negera ini sedang dipimpin oleh figur-figur yang lebih sibuk membangun citra ketimbang kapasitas negara. Pemimpin Negara tampil gagah di podium, dengan dada membusung dan suara menggelegar. Tapi semua hanya kosmetik politik. Doyan pidato, haus tepuk tangan, gemar retorika, tapi miskin visi. Setiap kata yang keluar bukanlah gagasan besar, melainkan cermin dari ego yang mabuk kekuasaan.

Narsisme kekuasaan melahirkan pemimpin yang ingin dikenang hanya karena jargon, monumen dan legasi dinasti kekuasaannya. Bukan karena kebijakan yang adil, sehat dan matang. Negara dipandang seperti panggung keluarga, rakyat sekadar penonton yang diminta tepuk tangan.

Demokrasi direduksi menjadi drama politik murahan, bukan sistem tata kelola. Mereka memegang semua kendali sumber daya dan agenda kebijakan. Ketika kekuasaan mulai memanfaatkan celah hukum, maka arsitektur demokrasi dipakai sebagai kulit bagi praktik yang makin tidak akuntabel. Akibatnya, segala tindak penyimpangan berakar dari sini. 

2. Lembaga Negara Nir-Etika dan Lemahnya Supremasi Hukum
Mereka menggunakan hukum seperti plastisin—dibentuk sesuai kepentingan dinasti dan syahwat kekuasaan. Berkaca dari polemik Mahkamah Konstitusi, bagaimana putusan yang dibangun di atas pelanggaran etik berat tetap berlaku. Artinya apa? Etika dikorbankan demi relasi kuasa Paman-Ponakan. Ditambah lagi deretan proses hukum yang dengan sangat telanjang nampak tajam ke lawan dan tumpul ke kawan.

Ketika penjaga konstitusi tersandung problem etik, ketika penegakan hukum tidak konsisten dan kebhinekaan dijadikan alat mobilisasi politik, maka publik membaca: hukum bisa dinegosiasi. Ini akhirnya memperlebar jurang antara legalitas dan legitimasi. 

3. Pejabat Negara; Korup, Inkompeten dan Nir-Moral
Pejabat negara? Mereka adalah karikatur dari kebobrokan. Tidak kompeten, korup, nir-etika, dan moral. Jabatan dipandang bukan sebagai amanah, melainkan sebagai lahan dagang dan rente. Pejabat publik di republik ini kerap berubah menjadi pedagang—bukan pelayan.

Sibuk "berbisnis" dan rangkap jabatan. Mereka lebih pandai mengakali proyek ketimbang merawat bangsa. Etika publik habis ditukar oleh komisi gelap, moralitas runtuh saat meja rapat lebih mirip meja transaksi. Dari skandal bansos, kuota haji, sampai mafia tambang—semua menunjukkan satu hal: pejabat yang dipilih rakyat lebih setia kepada bohir dan kantong pribadi daripada konstitusi.

Lihatlah DPR: seharusnya lembaga rakyat, tapi berubah jadi klub eksklusif penuh glamor. Anggotanya sombong, bergaya hidup mewah, memamerkan tas dan jam tangan miliaran rupiah, sementara rakyat antre beras murah. Mereka nir-empati, bahkan seringkali tidak santun ketika bicara kepada rakyat. Banyak kotoran yang keluar dari mulut mereka. Komunikasi publiknya buruk, seburuk kelakuannya. Di ruang sidang, lidah mereka fasih bicara tentang “aspirasi rakyat”, tapi di luar sidang, telinga mereka tuli terhadap jeritan rakyat.

CPI (Corruption Perceptions Index) 2024 yang hanya 37/100 bukan angka abstrak: itu cermin pejabat yang rakus, birokrasi yang bobrok, dan pengawasan fungsi yang ompong.

4. Oligarki & Bohir Politik; Dalang di Balik Layar
Dan di balik layar semua pertunjukan ini, berdirilah bohir dan oligarki. Mereka adalah dalang yang memainkan wayang. Uang mereka adalah minyak yang menggerakkan mesin politik. Pemimpin, pejabat, aparat—semuanya menari mengikuti irama para pemodal. Rakyat? Selalu dan sekali lagi menjadi korban.

Pendanaan politik yang tak transparan dan kedekatan bisnis-kekuasaan mendistorsi kompetisi dan prioritas kebijakan. Gejalanya terlihat pada kebijakan yang sering pro-pemodal serta kontra dengan kepentingan publik jangka panjang. Tak usah naif: kekuasaan di negeri ini tidak sepenuhnya di Istana. Ada meja-meja pertemuan gelap para oligark—cukong tambang, taipan minyak, konglomerat sawit—yang menentukan arah kebijakan lebih keras daripada suara rakyat. Partai politik pun akhirnya hanyalah franchise oligarki, Tiket pencalonan dijual mahal, akses politik terkunci dan hanya terbuka bagi mereka yang punya modal.

Presiden dan pejabat bisa berganti, tapi oligarki tetap ada. Mereka adalah tangan-tangan tak terlihat yang menulis naskah republik. Demokrasi di atas kertas, namun plutokrasi dalam praktik.

5. Aparat Angkuh dan Represif
Aparat? Mereka kini bukan lagi pelindung, melainkan predator bahkan pembunuh. Angkuh, represif, dan kejam. Seragam yang seharusnya jadi simbol keadilan, justru berubah jadi jubah ketakutan. Mereka memukul rakyat, menembak dengan gas air mata, bahkan terakhir melindas rakyat dengan rantis lapis baja.

Ketika rakyat mencoba bersuara, aparat sering jadi tembok yang keras. Demonstrasi dibubarkan, jurnalis dibungkam, aktivis dikriminalisasi. UU ITE dijadikan borgol digital. Aparat lebih sigap menghadapi kritik di medsos dan di jalanan daripada menghadapi mafia tambang dan narkoba. Negara jadi seperti preman berseragam yang menjaga penguasa, bukan rakyat.

Demokrasi membutuhkan rasa aman untuk bertahan. Demokrasi tanpa kebebasan berpendapat hanyalah ilusi yang memiskinkan partisipasi. 

6. Buzzer, Influencer dan Selebriti Politik
Mereka mengaburkan realitas, menyuntik sinisme, dan menukar kebijakan dengan konten. Panggung seni ditukar dengan panggung propaganda. Akun media sosial mereka jadi tempat mencuci uang, bukan lagi ruang inspirasi. Mereka menjual suara bukan untuk giat kesenian, tapi untuk menjilat penguasa.

Selebriti politik meraup angka fantastis, sementara buzzer bayaran mengubah kebohongan menjadi “kebenaran trending”. Disinformasi bukan lagi sekadar sampah, tapi senjata politik yang dilegalkan. Hasilnya, publik dicekoki racun propaganda murahan, hingga batas antara fakta dan fiksi hilang.

Indonesia kini punya industri baru: buzzer politik. Media sosial jadi arena pembantaian akal sehat. Demokrasi digital kita bukan lagi ruang deliberasi, tapi pasar kebohongan. Negara membiarkan, bahkan memelihara.

7. Ulama Gila Dunia
Ulama pun tak kalah. Banyak yang gila dunia, menjilat penguasa. Doa mereka bukan lagi doa untuk keadilan, tapi mantra legitimasi bagi kebijakan yang menindas. Satu tangan menadah doa, tangan yang lain sibuk hitung amplop.

Sebagian ulama kehilangan fungsi profetiknya. Mimbar jadi alat kampanye, bukan lagi ruang kebenaran, melainkan ruang endorsement politik. Agama dijadikan aksesoris kekuasaan. Ayat diperdagangkan, fatwa bisa dinegosiasi, dan umat hanya dijadikan komoditas elektoral. 
Ulama yang seharusnya jadi rem, kini malah jadi bensin. Dari mulut mereka, agama kehilangan makna. Dari sikap mereka, umat kehilangan teladan. Jubah panjang dan sorban lebar dianggap cukup untuk menutupi bau amis duniawi.

Ulama adalah penyangga moral bangsa, kompas spiritual yang menuntun umat agar tidak tersesat dalam gelapnya kekuasaan. Tetapi hari ini, mereka bukan lagi cahaya yang menerangi, melainkan lampu hias di istana. Dekat tanpa jarak, mesra tanpa kritik. Mereka lebih takut kehilangan kedekatan dengan penguasa daripada kehilangan ridha Tuhan. Mereka lebih gemar dipanggil "Kiai Istana" ketimbang menjadi suara rakyat kecil.

Ulama yang tidak bisa berjarak pada kekuasaan adalah bencana peradaban. Karena ketika ulama sudah bersujud pada penguasa, rakyat pun dipaksa ikut rukuk pada tirani. Akibatnya, umat tersesat, kompas moral yang mestinya lurus, ikut bengkok bersama uang dan kekuasaan. 

8. Akademisi yang “Melacur”
Tak kalah busuk, sebagian intelektual kampus menjual otoritas ilmiah mereka demi kekuasaan. Gelar profesor dan doktor dipakai untuk merias wajah kebijakan yang cacat. Kajian akademik berubah jadi stempel politik.

Akademisi seharusnya menjadi penjaga api pengetahuan. Menjaga martabat ilmu demi kemanusiaan. Tetapi hari ini, Mereka lebih rajin menghadiri undangan rapat politik ketimbang kuliah di kelas. Mereka lebih sibuk menulis riset pesanan dari riset independen. Data mereka pilih sesuai kepentingan pemodal. Survey-survey direkayasa. Teori mereka pelintir untuk membenarkan kebijakan yang salah. Mereka seperti imam palsu di rumah suci ilmu: Buku mereka tak lagi jujur, melainkan brosur propaganda yang disamarkan dengan istilah akademis.

Akademisi semacam ini tidak lagi menyalakan obor pengetahuan. Mereka malah meniup asap kebodohan, sehingga rakyat percaya bahwa ketidakadilan adalah keniscayaan, dan kekuasaan adalah kebenaran. Kampus yang seharusnya menjadi benteng moral dan mercusuar peradaban. Hari ini berubah menjadi rumah bordil intelektual.

Ketika pengetahuan dipakai sebagai fig leaf untuk menutupi sekaligus membenarkan outcome politik yang problematik, maka publik akan kehilangan kompas epistemik. Dampak tak langsungnya besar sekali, yaitu: terjadinya normalisasi penyimpangan. Seolah segalanya sah dalam kerangka ilmiah.

Dan sungguh, sejatinya pengkhianatan adalah akademisi yang berselingkuh dari ilmu pengetahuan dan melacurkan dirinya pada kekuasaan.

9. Pemilih Buta Politik & Masyarakat Apatis
Tentu saja rakyat juga punya andil. Pemilih buta politik adalah mesin perpanjangan umur bagi rezim busuk. Mereka tidak memilih dengan nalar, melainkan dengan perut lapar. Sebagian memilih karena tekanan serangan fajar, bukan rekam jejak. Sebagian lain memilih karena fanatisme buta, bukan kesadaran politik. Dan sisanya memilih diam, apatis, merasa politik terlalu kotor untuk disentuh. Sikap apatis inilah yang kemudian menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya tirani.

Suara rakyat di dalam pemilu adalah produk dari struktur informasi yang dipelintir dan insentif ekonomi yang membuat politik terasa jauh. Menyalahkan massa tanpa membenahi struktur kuasa dan arsitektur informasi hanyalah mengganti korban. Namun, tetap saja akibat dari sikap apatisme dapat mempercepat erosi, karena rakyat menyerahkan semacam cek kosong kepada elite, dan elite mengisinya sesuka hati. Demokrasi yang mestinya mengoreksi kekuasaan, justru diserahkan begitu saja tanpa syarat. 

Maka pemilih yang buta politik dan masyarakat yang apatis sama-sama menyumbang pada kerusakan negara ini. Yang satu memilih dengan kebodohan, yang lain memilih untuk tidak peduli. Percayalah, Apatisme tidak pernah bisa melindungi siapa pun dari tirani.

Sebuah Kesimpulan

Ringkasnya: gravity of blame paling berat jatuh pada mereka yang memegang tuas kekuasaan—eksekutif/koalisi penguasa yang menormalisasi rule by deal, peradilan & penegak hukum yang membiarkan standar ganda, dan oligarki yang membiayai permainan. Selebihnya—buzzer, akademisi oportunis, warga apatis—adalah gejala yang tumbuh subur dalam iklim insentif yang busuk.
Negara kita saat ini berada pada zona lintasan degradasi: Jika institusi pengimbang terus dilemahkan, penyelesaian konflik menyempit ke arah koersif, dan informasi publik dikuasai industri propaganda, maka kerentanan ini bisa bertransformasi menjadi kegagalan. Dan bayang-bayang Failed State" bisa saja terasa semakin nyata.
Is it time for revolution?

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

HUT ke-80 RI, Kami Belum Merdeka

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved