Opini

Membaca Jiwa Merah Putih

Merdeka bukan hadiah yang bisa kita nikmati tanpa batas. Ia adalah amanah yang diwariskan dengan darah dan nyawa.

Dok. Ahsanul Khalik
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB Periode 2012-2017 & 2017-2022 Dr. H. Ahsanul Khalik. 

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB Periode 2012-2017 & 2017-2022

"Merdeka bukan hanya berdiri tegak di depan tiang bendera, tapi saat kita membuat anak-anak bisa membaca arti bendera itu."

Kalimat ini sederhana, namun mengetuk kesadaran kita. Terlalu sering kemerdekaan diukur dari seremoni barisan rapi, kibaran bendera, dan lagu kebangsaan yang berkumandang lantang. Semua itu penting, tetapi bukanlah ujung dari makna merdeka. Kemerdekaan sejati adalah ketika anak-anak kita, generasi pewaris negeri, mampu membaca arti bendera, membacanya dengan mata yang cerdas, hati yang sadar, dan jiwa yang mencintai tanah air.

Membaca arti bendera bukan sekedar mengenali warna merah dan putih. Merah adalah keberanian, darah yang tumpah, nyawa yang dikorbankan, air mata yang mengalir demi sebuah janji, Indonesia akan berdiri. Putih adalah kesucian, tekad yang murni, cita-cita yang bersih untuk hidup bermartabat, bebas dari segala bentuk penjajahan.

Namun, betapa banyak anak-anak yang berdiri tegak di bawah bendera, tanpa tahu kisah yang dikibarkannya. Mereka hormat karena diperintah, bukan karena memahami. Inilah pekerjaan rumah kita sebagai bangsa, memastikan setiap hormat kepada bendera lahir dari pengetahuan, kesadaran, dan kebanggaan, bukan sekedar rutinitas tanpa makna.

Baca juga: Pesan TGB Terkait Maraknya Pengibaran Bendera One Piece Jelang HUT ke-80 RI

Pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan arti kemerdekaan. Anak yang bisa membaca buku akan lebih mudah membaca sejarah. Anak yang memahami sejarah akan lebih menghargai perjuangan. Dan anak yang menghargai perjuangan akan tumbuh menjadi penjaga kemerdekaan.

Itulah sebabnya, membangun sekolah, mengirim guru terbaik ke pelosok, memberi akses buku dan teknologi, semuanya adalah bagian dari menjaga Merah Putih tetap berkibar, bukan hanya di tiang, tetapi di hati setiap warga. Sebab buta huruf adalah bentuk penjajahan baru, dan lupa sejarah adalah pintu menuju keterjajahan berikutnya.

Merdeka bukan hadiah yang bisa kita nikmati tanpa batas. Ia adalah amanah yang diwariskan dengan darah dan nyawa. Amanah itu menuntut kita untuk menjaga, mengisi, dan memperjuangkannya. Dan pengisian itu bukan hanya tugas pejabat atau tentara, tetapi tugas setiap anak bangsa, guru, petani, pedagang, pekerja, seniman, hingga pelajar.

Bayangkan suatu pagi, seorang anak berdiri di halaman sekolahnya. Ia menatap Merah Putih berkibar, matanya berbinar bukan karena takut dihukum bila tidak hormat, tetapi karena ia tahu, ia benar-benar tahu, bahwa tanpa bendera itu, ia mungkin tak akan bisa membaca, bermain, atau bermimpi setinggi langit.

Itulah kemerdekaan yang hidup, bukan sekedar lambang.
Itulah arti “membaca bendera” yang sebenarnya.

Namun, realitas di lapangan terkadang menghadirkan cermin yang mengusik hati. Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, di tengah semarak pemasangan Merah Putih, terselip pemandangan lain, di sejumlah rumah, kendaraan, bahkan ruang publik, berkibar bendera lain, bendera One Piece, lambang kapal bajak laut.

Sekilas, ini hanya selembar kain bergambar tengkorak dan tulang bersilang, tapi sesungguhnya ia menyimpan pesan yang jauh lebih dalam, sebuah isyarat protes dari anak bangsa terhadap perjalanan pengelolaan negeri ini. Ia adalah bahasa tanpa suara, yang lahir dari rasa kecewa dan kegelisahan, sebuah cara yang baik atau buruk, dipilih sebagian orang untuk mengatakan bahwa masih ada yang luka, masih ada yang perlu diperbaiki.

Fenomena ini tidak untuk kita hukum dengan amarah, tetapi untuk kita baca dengan hati yang jernih. Sebab di balik setiap simbol yang menyimpang dari kelaziman, ada pesan yang ingin disampaikan. Dan pesan itu, dalam banyak hal, adalah permintaan agar negeri ini kembali memeluk rakyatnya dengan lebih adil, lebih cermat, dan lebih tulus.

Inilah panggilan bagi para pemangku kepentingan,  pemerintah, legislatif, TNI, Polri, dan seluruh pengemban amanah publik, bahwa tugas menjaga Merah Putih tidak berhenti pada memastikan ia berkibar di udara, tetapi memastikan maknanya hidup di dada rakyat. Merah Putih akan selalu gagah di tiang jika ia terlebih dahulu kokoh di hati.

Maka ketika sebagian warga memilih simbol lain di hari kemerdekaan, jangan terburu-buru menuding lemahnya nasionalisme. Mungkin yang melemah bukan cintanya pada tanah air, tetapi keyakinannya bahwa negeri ini benar-benar berpihak padanya. Dan di sinilah letak tugas kita semua, mengembalikan keyakinan itu, membangun kembali jembatan antara simbol dan kenyataan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved