Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Salah seorang tenaga kerja wanita (TKW) inisial M (36) asal Desa Masbagik Selatan, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur membagikan pengalaman pilunya saat hendak pergi merantau ke Singapura.
Pasalnya, M bukannya diberangkatkan ke Singapura, namun ibu dua anak ini justru tertahan di tempat penampungan dan pelatihan milik Perusahaan Pengerah Pekerja Migran Indonesia (PPMI) PT CKS yang berada di Kota Malang, Jawa Timur.
Di tempat penampungan ini, M beserta teman-temannya mengalami kekerasan berupa intimidasi hingga dengan kekerasan secara verbal.
Kepada TribunLombok.com, M menceritakan awal mula tragedi yang didapatkannya itu di mulai, dimana pada saat di Lombok ia sebelumnya direkrut oleh salah seorang tekong untuk diberangkatkan ke Singapura sebagai asisten rumah tangga, dengan kesepakatan biaya keberangkatan ditanggung perushaan dengan sistem potong gaji selama 7 bulan.
Baca juga: 60 TKW Disekap dan Disiksa di Kamboja, Satu Orang Dilaporkan Asal NTB
Dia pada saat itu hanya mengeluarkan uang Rp 1,2 juta untuk biaya membuat paspor yang diserahkan ke tekong.
Pada 28 Oktober 2023, ia kemudian diberangkatkan ke Kota Malang, untuk menjalani pelatihan di penampungan milik perusahaan. Di tempat ini, ia bersama puluhan TKW lainnya dari berbagai daerah di kumpulkan sebelum diberangkatkan ke negara tujuan.
Tetapi sudah 4 bulan ia menjalani pelatihan tak kunjung diberangkatkan, bahkan TKW lainnya ada yang tujuh bulan dan satu tahun.
Selama menjalani pelatihan di tempat penampungan itu, mereka sering diintimidasi dan mendapatkan kekerasan secara verbal dari tutor yang membimbing mereka untuk belajar bahasa Inggris.
"Awalnya aman dan nyaman, tapi tutor bahasa Inggris yang lama resign, digantikan oleh tutor baru, ini yang kasar, kata-katanya kasar, semua enggak nyaman. Sehingga enggak pernah kita masuk kelas," ucap M setelah dikonfirmasi, Rabu (27/3/2024).
Selain karena mengalami kekerasan verbal, kondisi penampungan sebutnya sangat tidak nyaman. Semua TKW dipenjara, karena tidak diperbolehkan keluar. Makanan hanya dikasih seadanya, hanya dikasih lauk sayur. Kalaupun mau lauk ikan atau daging, harus beli di kantin setempat yang harganya tiga kali lipat dari harga normal.
Sedangkan untuk kebutuhan yang tidak tersedia di kantin, mereka terpaksa dengan cara menitip ke orang lain, itupun dengan mengeluarkan biaya trasportasi yang cukup besar.
"Kita di penampungan itu, diperas, semua kita beli dengan harga mahal," terangnya.
Karena tidak tahan dengan kondisi tersebut, M bersama dengan teman-temannya mengajukan pengunduran diri, tetapi pihak perushaan menolak. Bisa mengungundurkan diri dengan syarat harus menganti biaya yang telah dikeluarkan perusahaan. Besaran ganti rugi berbeda-beda setiap orang, yaitu Rp13-17 juta.
"Saya waktu itu dikenakan ganti rugi Rp13 juta, kami minta dirincikan itu biaya apa aja, tetapi tidak pernah diberikan," sebutnya.