Kasus yang sedikit berbeda terjadi pada PT Global Okat Tiraket (1.955 m⊃2;)
"Mereka sudah berusaha di situ, lalu ada lahan di samping tempat usahanya yang tidak ada orang yang mengajukan permohonan. Akhirnya karena tidak ada yang mengajukan, pemilik PT Global mengajukan. Kebetulan istrinya WNI, suami asli Turki," jelasnya.
"Di kemudian hari ada yang komplain, ada warga yang mengaku menempati lahan. Bawa SPPT, kita crosscheck kembali tahun 2023. Ini tidak ada ganti rugi ke warga, karena ini lahan kosong. Dan dia belum membangun," ungkapnya.
Selain 9 perusahaan asing, dari 11 lahan yang lahir kontrak kerja sama pemanfaatan tersebut, dua lahan diberikan kepada perseorangan.
Seperti Katara Hotel (300 m⊃2;). Pemiliknya seorang perempuan yang ber-KTP Lombok Utara. Tetapi suaminya WNA.
"Awalnya begini, perjanjian awal sewa-menyewa dengan masyarakat. Pada perjalanannya, muncul perjanjian atas nama Katara Hotel. Kita selidiki ternyata, dia kan penyewa statusnya ke orang lokal, sebagian bangunan sudah ada di situ, terbit atas nama penyewa. Kenapa? Ternyata yang lokal ndak mengajukan permohonan," teranganya.
Kemudian 1 lahan lagi yang dikuasai perseorangan adalah Klinik Kesehatan (73 m⊃2;). Pemiliknya warga Lombok yang bersuami warga Inggris.
"Kenapa masyarakat ada yang mengajukan dan tidak? Pertama, karena dulu masyarakat ada yang berharap bisa menjadi hak milik, karena merasa warisan. Tetapi itu kan tidak bisa," ungkapnya.
Ketika disinggung soal dasar ganti rugi yang diberikan kepada warga oleh perusahaan asing tersebut, Dr Mawardi pun mengaku mempertanyakan hal tersebut.
Pihaknya juga melihat itu sebagai suatu persoalan.
"Pertama ini tanah negara, tapi ketika HGB nya dipegang PT GTI, peristiwa ini berlalu begitu saja. Tidak ada yang atensi. Peristiwa hukumnya berlangsung saat masih dipegang GTI. Setelah kita cek, banyak sekali praktik di lapangan. Ada peralihan hak, ada ganti rugi, sewa-menyewa," bebernya.
"Tidak ada yang komplain pada saat proses, komplainnya pascaditerbitkan kerja sama," jelasnya.
Kemudian perihal alasan tak melakukan "beauty contest" dalam menentukan pihak kerjasama, Dr Mawardi mengaku pemprov NTB menggunakan aturan terbaru yang terbit pada 2022.
"Kita pakai aturan terbaru. Tapi tanya saja biro hukum kenapa menggunakan skema ini. Mereka yang memproses perjanjian ini," terangnya.
Perlu ditinjau kembali
Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir menilai tindakan Gubernur NTB telah melawan hukum.