Semisal Mahally Fikri, Najmul Ahkyar, atau Hasanain Juwaini yang dianggap masih dapat dikorelasikan dengan TGB Sedangkan di NasDem tetap maju Syamsul Lutfi.
Pola ini dicermati Ihsan merupakan pilihan yang justru lebih dilematis.
"Memasang kader yang sama, warna yang sama, untuk mengambil suara di ceruk yang sama itu tidak bijak. Sederhananya, NWDI punya 100 suara kemudian akan dibagi rata menjadi 50-50, padahal syarat untuk menang adalah 90," katanya.
Dalam kacamatanya, NWDI memiliki sekitar 15-20 persen basis suara di NTB.
Oleh karenanya, Ihsan menilai opsi pertamalah yang paling ideal dan rasional.
"Opsi pertamalah yang paling masuk akal ketika TGB ingin merealisasikan targetnya yang berangkat dari NTB sebagai basis militannya, lalu ingin membuktikan bahwa NTB mampu menyumbang target Perindo lolos di pusat. Opsi kedua dan ketiga terlalu berisiko. Harus ditunjang dengan support finansial yang kuat," pungkasnya.
Lebih jauh, Ihsan menambahkan, berkaca dari sejarah konstelasi politik yang pernah terjadi, NWDI secara ormas tidak pernah berafiliasi kepada lebih dari satu partai.
Namun ia melihat, kalaupun gerbong NWDI yang saat ini berada di NasDem tidak bisa digaet ke Perindo, maka hal ini bisa menjadi tradisi baru bagi ormas NWDI.
"Kalau ini terjadi ke depan, maka akan sedikit mendewasakan jamaah NWDI. Tetapi imbas pertama kali ini yang memang harus diterima pahit-manisnya. Sebab kader belum terbiasa diajak berafiliasi kepada dua kelompok dalam waktu yang bersamaan," kata Ihsan Hamid.
(*)