Ketika Mardani yang dahulunya adalah bupati melakukan kesalahan dalam proses izin, maka itu merupakan kesalahan administratif.
"Jadi kalau kesalahan administratif maka menjadi tanggung jawab jabatan, dalam hal ini posisinya sebagai bupati kala itu," ujarnya.
Baca juga: 391 Aset Pemkab Diserahkan ke Pemkot Bima Sebagian Dikuasai Pribadi, KPK Diminta Turun Tangan
Kemudian, jika dari sisi pidana maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab personal bukan jabatan.
Namun untuk menemukan unsur pidana, harus ada kesalahan pidana yang dilakukan, seperti suap, gratifikasi atau pemalsuan surat.
"Pertanyaan, apakah dalam case ini ada suap atau gratifikasi terjadi. Apa ada pemalsuan surat? Kalau ada, unsur itu ranahnya pidana. Jadi ada tanggung jawab pidana (pribadi)," paparnya.
Namun, jika bawahan menerima suap maka tidak bisa dibebankan tanggung jawab kepada bupati atau Mardani.
"Penyertaan (deelneming) tidak bisa serta merta jika tidak ada hubungan kausalitas (sebab akibat)," ujarnya.
Prof Amiruddin juga menjelaskan, jika kasus tersebut digeret ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka harus jelas apa kesalahan yang dilakukan Mardani.
Dijelaskan juga, ada putusan MK mengenai TPPU.
Dalam UU TPPU disyaratkan tidak mesti terbukti terlebih dahulu predikat crime (tindak pidana asal).
MK mengatakan jika mengikuti pasal 69 TPPU tidak perlu predikat crime.
"Penuntut umum diwajibkan untuk mengajukan dakwaan bersama dakwaan pokok (subsideritas)," ujarnya.
Terakhir, Direktur Pojok NTB Fihiruddin mengatakan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan banyak sekali kasus kriminalisasi terhadap masyarakat yang melibatkan pengusaha.
Ironisnya aksi premanisme tersebut tidak pernah tuntas diusut aparat penegak hukum di wilayah tersebut.
Contoh, seorang guru melakukan unjuk rasa terhadap kendaraan tambang yang melintas di dekat SD tempat dia mengajar.