Dilema Pengelolaan Sampah TPA Kebon Kongok, Akademisi Universitas Udayana Tawarkan Solusi

Penulis: Lalu Helmi
Editor: Sirtupillaili
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Air Lindi yang merembes ke lingkungan warga dari TPA Kebon Kongok.

“Tiada guna teriak-teriak tidak punya uang, lalu persoalan sampah ini mau diapakan?"

SAMPAH PLASTIK: Maksun (59), kepala SDN 4 Taman Sari, Lombok Barat menunjukkan bata plastik hasil olahan limbah sampah plastik, Rabu (16/6/2021). Bata plastik ini dimanfaatkan untuk membangun gedung sekolah.   (TribunLombok.comds/Sirtupillaili)



Institusionalisasi Pengelolaan Sampah Level Hulu

Dosen Magister Ilmu Lingkungan itu juga memberikan atensi khusus terhadap pungutan sampah yang berada di level kelurahan/desa.

Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian.

“Harus di institusionalisasi, jangan dibiarkan seolah-olah liar tanpa aturan. Mantapkan kelembagaannya, dan harus ada standarisasi harga.” Pengorganisasinnya perlu diatur.

Bisa dibayangkan, kata Windia, kalau uang pungutan itu terkumpul dengan baik bisa mencapai angka miliaran.

Dalam kasus ini, pemerintah kabupaten/kota-lah yang memiliki domain untuk melakukan intervensi.

TPA Kebon Kongok

TPA Kebon Kongok adalah akumulasi dari belum maksimalnya tata kelola sampah.

Sebelumnya, Windia menjelaskan 2018 telah ada perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ihwal TPA Kebon Kongok.

Salah satu klausul pada PKS tersebut secara eksplisit menyebutkan, pemindahan lokasi pengolahan sampah dari TPA Kebon Kongok ke tempat yang baru.

Namun, karena persoalan penolakan di tempat yang telah direncanakan, klausul tersebut urung direalisasikan.

“Penyakit TPA Kebon Kongok sebetulnya mulai dari sini, andaikata tidak terjadi penolakan, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."

"TPA Kebon Kongok ini sudah penuh, kemudian diperpanjang masa pakainya. Ini sama seperti meminta orang tua sakit-sakitan untuk bekerja keras. Pastilah banyak penyakit akan muncul,” ujarnya.

Windia menilai, instalasi landfilling di Kebon Kongok sudah waktunya untuk disetop.

“Harus disetop dulu memasukkan sampah ke TPA Kebon Kongok, sebab sudah tidak memungkinkan lagi. Banyak persoalan yang muncul, bisa dilihat sendiri,” katanya.

Windia berpandangan, sembari menunggu adanya instalasi pemrosesan dan landfilling sampah baru yang lebih representatif, sampah sehari-hari harus dialihkan ke TPA yang lain.

“Mungkin TPA yang terdekat itu di pengengat Lombok Tengah ya,” ujarnya.

Pada titik ini, ia tak menampik akan muncul cost yang lebih tinggi.

Namun, menurutnya itu merupakan pilihan yang lebih realistis dan rasional.

Jika dibandingkan dengan terus melanjutkan pengoperasian instalasi landfilling di Kebon Kongok yang ada saat ini.

“Persoalan lindi mungkin bisa ditangani, tapi kalau hujan terus nggak bisa. Dari segi dampak lingkungan, kesehatan, dan psikologi masyarakat, kasihan masyarakat kalau terus seperti ini,” katanya.

Pada 1 September 2021, pemprov NTB pernah mencoba menghentikan operasional TPA Kebon Kongok.

Sembari menemukan lahan baru. Imbasnya, hal tersebut menimbulkan kepanikan bagi masyarakat Kota Mataram dan Lombok Barat.

Kesepakatan antara pemprov, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat saat itu adalah "operasional landfill dilanjutkan dengan mengisi jalan terasering dengan sampah".

Artinya, situasi yang terjadi saat ini pastilah sudah diprediksi.

Dalam konteks ini, jika ada komplain warga, kata Windia, semua pihak seyogianya harus turun memberikan edukasi kepada masyarakat.

Pemerintah Kabupaten/kota juga harus turun, jangan hanya pemerintah provinsi.

(*)

Berita Terkini