Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kebon Kongok di Desa Sukamakmur, Lombok Barat telah overload.
TPA Kebon Kongok kini sudah tidak lagi mampu menampung sampah yang dibuang ke lokasi itu.
TPA Kebon Kongok yang beroperasi sejak 1993 memiliki luas sekitar 13 hektare dengan beban ideal 991.800 meter kubik sampah.
Pada 2021, jumlah sampah yang tertampung telah mencapai batas ideal yang ditentukan.
Pengelola TPA, Pemerintah Provinsi NTB sejak tahun 2018 berupaya mencari lokasi baru, namun belum berhasil.
Sementara itu, upaya untuk tetap mengoperasikan TPA regional mendapat penolakan dari warga sekitar. Situasi yang dilematis.
Baca juga: WALHI NTB Investigasi TPA Kebon Kongok, Temukan Air Limbah Mengalir ke Laut
Baca juga: Sampah TPA Kebon Kongok Menggunung, Air dan Udara di Sekitarnya Tercemar
Hingga kini, sampah dari Kota Mataram dan Lombok Barat mencapai 300-400 ton per hari tetap berakhir di TPA Kebon Kongok, ditimbun di lintasan masuk area terasering landfill.
Imbasnya, acapkali sampah meluber hingga ke tepi sungai terdekat.
Bau tak sedap, akibat tidak sempurnanya proses penimbunan, serta rembesan air lindi yang meluber saat hujan kini menjadi pemandangan sehari-hari.
Usulan perluasan lahan TPAR juga mendapat penolakan dari warga, situasi yang bisa memicu krisis jika tidak segera diambil kebijakan strategis.
Menanggapi persoalan tersebut, Praktisi dan Pengajar di Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana Dr IB Windia Adnyana menyampaikan pandangannya.
Windia menjelaskan, bahwa pengelolaan sampah pada prinsipnya bertujuan agar lingkungan terjaga bersih, sehat dan lestari.
“Lalu pertanyaannya, siapa yang punya otoritas untuk mengelola sampah? Pasti jawabannya setiap individu. Dengan kata lain, setiap orang harus bertanggung-jawab terhadap sampahnya sendiri,” katanya kepada TribunLombok.com, Rabu, (15/6/2022).
Dalam realitasnya, tidak mungkin setiap individu mengumpulkan sampahnya di rumah dan membawanya ke TPA sendiri-sendiri.
Harus ada sistem yang dibangun untuk itu.
Pemerintah harus hadir dan menyediakan layanan publik untuk itu.
Baca juga: Tumpukan Sampah Sudah Melebihi Kapasitas di TPA Kebon Kongok, Usulan Perluasan Ditolak Warga
Bagaimana Pengelolaan Sampah di NTB?
Mantan Strategy Leader WWF-CTNI menyoroti soal program zero waste yang diluncurkan pemprov NTB pada 2018 silam..
“Kalau kita simak makna ‘zero waste’, zero berarti kosong, waste artinya sampah. Jadi zero-waste adalah nirsampah alias tidak ada sampah. Frasa ‘tidak ada sampah’ ini tentu saja tidak mungkin.” jelasnya.
Dalam pandangannya, esensi program zero waste adalah upaya mendorong perancangan daur ulang sumberdaya, dari sistem linier menuju siklus tertutup, sehingga semua produk bisa digunakan kembali.
Tidak ada sampah yang dikirim ke TPA.
Proses yang dibangun adalah meniru bagaimana sumberdaya di daur ulang secara alami.
Kunci dari konsep ini akan sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, industri dan pemerintah.
Dan untuk NTB, bahkan Indonesia, dewasa ini, konsep ini sangat sulit diimplementasikan.
Oleh karena itu, saat ini zero waste harus dipandang sebagai tujuan atau cita-cita daripada target.
End of pipe system dengan terminal TPA masih dibutuhkan.
Tentu saja TPA dengan teknologi dan tata kelola yang mumpuni sehingga residu yang harus ditimbun menjadi minimal.
Langkah pertama kearah itu adalah adanya kesadaran masyarakat memilah sampah dari rumah, kemauan petugas sampah untuk menyediakan sistem angkutan terpilah dari rumah tangga ke TPS maupun dari TPS ke TPA.
"Hanya dengan cara itu kisruh polusi yang diakibatkan oleh melubernya sampah di TPA seperti yang terjadi saat ini bisa dikendalikan," kata Windia.
Ia menilai, pemprov NTB sejak 2021, telah mengubah strategi pengelolaan sampah.
Pemprov NTB, menurutnya telah memahami bahwa mereka tidak punya kewenangan dan kapasitas untuk bergerak sampai di level rumah tangga, karena itu memang merupakan domain Kabupaten/Kota dan pemerintah desa.
Pemprov NTB lebih intens di sisi hilir pengelolaan sampah, yakni TPA regional.
Pada titik ini, pemerintah provinsi benar-benar bekerja keras berinovasi, menangkap dan menggunakan teknologi terkini untuk mengurangi timbulnya residu sampah.
Pemprov NTB, kata Windia, dalam kasus ini telah melakukan sejumlah terobosan.
Seperti bermitra dengan pencetus program block solution (batako dari sampah), bekerja sama dengan PLN untuk mengolah sampah menjadi energi yakni solid recovered fuel (SRF).
Serta memanfaatkan sampah plastik jenis tertentu sebagai bahan bakar dengan teknologi pirolisis.
“Artinya, jika proses pemilahan di hulu dan teknologi di hilir tersebut berjalan maksimal, nanti residu akhir sampah akan sangat sedikit untuk dikembalikan dan ditimbun di alam,” ujarnya.
Jika tidak seperti itu, potensi TPA menjadi overload atau over capacity menjadi sesuatu yang tidak bisa terelakkan.
Percepatan tata kelola sampah yang baik ini hanya bisa dicapai jika para pihak bisa bekerjasama.
Bekerjasama dibidang apa?, bekerjasama untuk memastikan agar setiap rumah tangga dengan gembira memilah sampahnya.
Bekerjasama untuk memastikan para pengangkut menyediakan sistem angkutan sampah terpilah.
Serta bekerjasama untuk memastikan agar aplikasi teknologi pemrosesan sampah di TPA optimal.
“Setiap kita harus memastikan bahwa SDM-nya memadai. Harus ada orang tepat yang mengurus soal itu. Sebab kita bermain teknologi, termasuk juga mengawal mekanisme pembiayaan".
Sekarang, masalah utamanya adalah soal pembiayaan.
Dalam konteks ini, ia mendorong agar pemerintah baik di level kabupaten/kota maupun provinsi mencari sumber-sumber pembiayaan.
“Tiada guna teriak-teriak tidak punya uang, lalu persoalan sampah ini mau diapakan?"
Institusionalisasi Pengelolaan Sampah Level Hulu
Dosen Magister Ilmu Lingkungan itu juga memberikan atensi khusus terhadap pungutan sampah yang berada di level kelurahan/desa.
Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian.
“Harus di institusionalisasi, jangan dibiarkan seolah-olah liar tanpa aturan. Mantapkan kelembagaannya, dan harus ada standarisasi harga.” Pengorganisasinnya perlu diatur.
Bisa dibayangkan, kata Windia, kalau uang pungutan itu terkumpul dengan baik bisa mencapai angka miliaran.
Dalam kasus ini, pemerintah kabupaten/kota-lah yang memiliki domain untuk melakukan intervensi.
TPA Kebon Kongok
TPA Kebon Kongok adalah akumulasi dari belum maksimalnya tata kelola sampah.
Sebelumnya, Windia menjelaskan 2018 telah ada perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ihwal TPA Kebon Kongok.
Salah satu klausul pada PKS tersebut secara eksplisit menyebutkan, pemindahan lokasi pengolahan sampah dari TPA Kebon Kongok ke tempat yang baru.
Namun, karena persoalan penolakan di tempat yang telah direncanakan, klausul tersebut urung direalisasikan.
“Penyakit TPA Kebon Kongok sebetulnya mulai dari sini, andaikata tidak terjadi penolakan, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."
"TPA Kebon Kongok ini sudah penuh, kemudian diperpanjang masa pakainya. Ini sama seperti meminta orang tua sakit-sakitan untuk bekerja keras. Pastilah banyak penyakit akan muncul,” ujarnya.
Windia menilai, instalasi landfilling di Kebon Kongok sudah waktunya untuk disetop.
“Harus disetop dulu memasukkan sampah ke TPA Kebon Kongok, sebab sudah tidak memungkinkan lagi. Banyak persoalan yang muncul, bisa dilihat sendiri,” katanya.
Windia berpandangan, sembari menunggu adanya instalasi pemrosesan dan landfilling sampah baru yang lebih representatif, sampah sehari-hari harus dialihkan ke TPA yang lain.
“Mungkin TPA yang terdekat itu di pengengat Lombok Tengah ya,” ujarnya.
Pada titik ini, ia tak menampik akan muncul cost yang lebih tinggi.
Namun, menurutnya itu merupakan pilihan yang lebih realistis dan rasional.
Jika dibandingkan dengan terus melanjutkan pengoperasian instalasi landfilling di Kebon Kongok yang ada saat ini.
“Persoalan lindi mungkin bisa ditangani, tapi kalau hujan terus nggak bisa. Dari segi dampak lingkungan, kesehatan, dan psikologi masyarakat, kasihan masyarakat kalau terus seperti ini,” katanya.
Pada 1 September 2021, pemprov NTB pernah mencoba menghentikan operasional TPA Kebon Kongok.
Sembari menemukan lahan baru. Imbasnya, hal tersebut menimbulkan kepanikan bagi masyarakat Kota Mataram dan Lombok Barat.
Kesepakatan antara pemprov, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat saat itu adalah "operasional landfill dilanjutkan dengan mengisi jalan terasering dengan sampah".
Artinya, situasi yang terjadi saat ini pastilah sudah diprediksi.
Dalam konteks ini, jika ada komplain warga, kata Windia, semua pihak seyogianya harus turun memberikan edukasi kepada masyarakat.
Pemerintah Kabupaten/kota juga harus turun, jangan hanya pemerintah provinsi.
(*)