Pemerintah harus hadir dan menyediakan layanan publik untuk itu.
Baca juga: Tumpukan Sampah Sudah Melebihi Kapasitas di TPA Kebon Kongok, Usulan Perluasan Ditolak Warga
Bagaimana Pengelolaan Sampah di NTB?
Mantan Strategy Leader WWF-CTNI menyoroti soal program zero waste yang diluncurkan pemprov NTB pada 2018 silam..
“Kalau kita simak makna ‘zero waste’, zero berarti kosong, waste artinya sampah. Jadi zero-waste adalah nirsampah alias tidak ada sampah. Frasa ‘tidak ada sampah’ ini tentu saja tidak mungkin.” jelasnya.
Dalam pandangannya, esensi program zero waste adalah upaya mendorong perancangan daur ulang sumberdaya, dari sistem linier menuju siklus tertutup, sehingga semua produk bisa digunakan kembali.
Tidak ada sampah yang dikirim ke TPA.
Proses yang dibangun adalah meniru bagaimana sumberdaya di daur ulang secara alami.
Kunci dari konsep ini akan sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, industri dan pemerintah.
Dan untuk NTB, bahkan Indonesia, dewasa ini, konsep ini sangat sulit diimplementasikan.
Oleh karena itu, saat ini zero waste harus dipandang sebagai tujuan atau cita-cita daripada target.
End of pipe system dengan terminal TPA masih dibutuhkan.
Tentu saja TPA dengan teknologi dan tata kelola yang mumpuni sehingga residu yang harus ditimbun menjadi minimal.
Langkah pertama kearah itu adalah adanya kesadaran masyarakat memilah sampah dari rumah, kemauan petugas sampah untuk menyediakan sistem angkutan terpilah dari rumah tangga ke TPS maupun dari TPS ke TPA.
"Hanya dengan cara itu kisruh polusi yang diakibatkan oleh melubernya sampah di TPA seperti yang terjadi saat ini bisa dikendalikan," kata Windia.
Ia menilai, pemprov NTB sejak 2021, telah mengubah strategi pengelolaan sampah.