Tembok meladi dihajar dan jalur terbuka lebar untuk rombongan berikutnya. Daun meladi berduri tajam bisa dielakkan. Sejam berikutnya setelah mendaki, mereka sampai di pematang yang banyak pohon cemara, alang-alang, tengsek, dan glagah.
Kini, jalur pasir dan batu lava mulai mereka temukan, dan terasa benar rombongan telah sampai di dekat puncak gunung berapi. Lokasi itu ada di sebuah jurang yang dasarnya batuan lava beku (lava bank). Jarum jam menunjuk angka 17.30.
Lama perjalanan hari itu 8 jam, dikurangi 2,5 jam istirahat. Berdasar keterangan pekerja, di lokasi ini WA Petroeschvsky mendirikan bivak untuk para pekerjanya. Vulkanolog itu mendirikan bivak terpisah di lokasi lebih tinggi.
Bivak didirikan di ketinggian 1.940 meter di atas permukaan laut, tekanan udara 598 mm, suhu udara berkisar 11 derajat Celcius. Di dekat bivak ada dua jalur air terjun, namun saat itu kering kerontang. Sumber air terbatas di lokasi ini.
Keesokan harinya, mulai pukul 09.00, Adnawijaya dan rekan didampingi sejumlah pekerja, melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Tambora. Ini momen “summit attack”, yang relatif tidak berat. Jalurnya terbuka.
Setelah 55 menit berjalan, mereka tiba di titik yang jadi batas terakhir hutan dan puncak yang dipenuhi pasir dan batu lava. Dari batas ini, sekira 50 menit pendakian mereka menemukan titik yang 4 tahun sebelumnya dijadikan bivak WA Petroeschvsky.
Spot itu dinaungi rerimbunan tiga pohon cemara , satu pohon di antaranya sudah mati. Perjalanan berlanjut dan tak lama kemudian Adnawijaya dan kawan-kawan tiba di spot akhir yang dituju hari itu: tepi barat kaldera Gunung Tambora.(Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga)