TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Butuh waktu 32 tahun bagi Tambora untuk diketahui keadaan puncak dan kalderanya sesudah letusan super 5-11 April 1815. Orang pertama yang berhasil mencapai puncak adalah Heinrich Zollinger.
Ia menapakkan kakinya di bibir kaldera raksasa Tambora pada 1847 lewat jalur timur, atau sekarang Piong di Kecamatan Sanggar, Bima. Biaya pendakian itu sangat mahal untuk ukuran masa waktu itu.
Selain pencinta alam, Zollinger juga ahli botani asal Swiss. Ia lahir di Feuerthalen, 22 Februari 1818. Jadi saat Tambora meletus dahsyat, Zollinger belum lahir.
Ia mempelajari botani antara 1838-1839 di Universitas Jenewa, tapi putus sekolah karena alasan keuangan. Tahun 1842 dia tiba di Jawa dan bekerja di kebun botani milik pemerintah kolonial.
Baca juga: Gulungan Api Raksasa Tambora Menyapu Segala Penjuru Gunung
Baca juga: Tanda-tanda Letusan Gunung Tambora Muncul Tiga Tahun Sebelum April 1815
Baca juga: Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa Terdahsyat dalam 10 Ribu Tahun Terakhir
Sesudah mendaki Tambora pada 1847, Zollinger pulang ke Swiss, namun kembali lagi ke Jawa pada 1855 bersama istri dan kedua anaknya.
Zollinger meninggal pada 19 Mei 1859 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan karena sakit malaria berkepanjangan.
Tanaman di Lereng Musnah
Dalam laporan ekspedisi Zollinger, ia mencatat flora Pulau Sumbawa mengalami degenerasi sangat tajam. Banyak tanaman yang tadinya tumbuh subur di sekeliling gunung itu musnah.
Hingga hampir setengah abad sesudah letusan, tempat-tempat yang tadinya rimbun oleh pepohonan rapat, masih berselimut pasir dan debu.
Dalam perjalanannya menuju puncak, Zollinger melihat jejak-jejak nyata letusan. Endapan debu sangat luas, dan desa-desa kosong serta terdapat kuburan-kuburan pendudukya.
Ladang-ladang yang tadinya penuh hamparan padi, berubah jadi sabana ilalang dan perdu. Dari warga yang selamat, Zollinger mendapati ada perubahan suhu udara yang cukup ekstrem.
Menurut Zollinger, kepunahan vegetasi membuat udara lebih kering dan panas. Musim kemarau lebih panjang dan sumber-sumber air ikut mengering.
“Puncak gunung seluruhnya telanjang mulus, tetapi di sanalah dia melihat kawah gunung Tambora,” tulis Zollinger dikutip antropolog Bernard de Joung (Letusan Tambora 1815: 2012).
Sesudah Zollinger, ada beberapa pendaki yang mencoba meneliti dan menelusuri Tambora. Antara lain Pannekoek van Rheden (1913), dan Petroeschesvky (1947).
Kesaksian mereka masih mirip meski sudah melihat ada tanda-tanda kehidupan flora di sekitar lereng dan puncak serta kaldera gunung.
Namun sesudah 100 tahun berlalu, tumbuh-tumbuhan itu tetap jarang. Tambora tidak mampu sepenuhnya bangkit seperti sebelum 1815.
Petroeschesvky menduga kandungan gas belerang menyebabkan flora tidak bisa tumbuh berkembang baik di kawasan puncak dan lereng-lerengnya.
Dampak hebat di Eropa
Letusan Tambora 1815 yang masuk kategori indek letusan 9, Volcanic Explosivity Index (VEI), pada akhirnya tak hanya mempengaruhi segala sesuatu di Sumbawa, Sumba, Bali, Jawa, Kalimantan dan sekitarnya.
Belahan barat bumi dan Amerika utara, merasakan dampak tak kalah hebatnya. Partikel debu vulkanik memenuhi lapisan atmosfer dan stratosfer.
Suhu turun dan membuat musim panas di Eropa dan Amerika pun tetap sangat dingin. Kota-kota di belahan utara Amerika, seperti New Haven, Connecticut mengalami bulan terdingin.
Perubahan iklim ekstrem itu menyebabkan gagal panen yang mengancam ketersediaan stok pangan. Harga-harga kebutuhan pokok pangan melambung tinggi.
Ternak dan hewan piaraan mati karena suhu dingin ekstrem dan kelangkaan pakan. Situasi abnormal juga terjadi di Inggris, Irlandia, Belanda, Jerman, Prancis, dan Swiss.
Kegagalan panen juga membawa benua Eropa ke tubir bencana kemanusiaan hebat yang akan mempengaruhi semua aspek kehidupan warganya.
Setelah studi bertahun-tahun, sebagian besar ahli bersepakat, debu vulkanik dan zat kimia yang dimuntahkan Tambora benar-benar mempengaruhi suhu dan iklim.
Benyamin Franklin menjadi ilmuwan pertama yang menautkan letusan gunung berapi dengan penurunnya suhu udara.
Sementara ilmuwan WJ Humprey dari Jawatan Meteorologi AS menyimpulkan letusan Tambora 1815 mempengaruhi suhu udara bumi menjadi begitu jeleknya.
Ahli meteorology Hubert Lamb mengembangkan teori Dust Veil Index (DVI). Intinya, jumlah partikel yang dimuntahkan gunung berapi bisa menentukan jumlah pengaruh letusan terhadap suhu udara.
Letusan Krakatau 1883 memiliki indek DVI 1.000. Sedangkan Tambora mencapai angka 4.200 DVI. Jadi letusan Tambora 4,2 kali lebih kuat ketimbang Krakatau.
Selain suhu udara menjadi lebih dingin di belahan barat bumi, partikel debu vulkanik juga mempengaruhi penampakana langit.
Begitu matahari tenggelam, sinarnya tetap menyinari tabir debu di lapisan stratosfer. Efeknya, langit tampak menjadi lebih merah di waktu senja.
Pada musim panas dan gugur 1815, perbedaan nyata bisa dilihat di daratan Inggris. Saat sunset, panorama paling indah terlihat di negeri itu.
Dampak tak langsung lain yang kemudian jadi ulasan para ahli sejarah, letusan Tambora turut menyumbang faktor kegagalan ekspansi Napoleon Bonaparte ke Rusia.(Tribunlombok.com/Setya Krisna Sumarga)