Polemik Royalti Musik

GM Aruna Senggigi Sebut Pembayaran Royalti Musik Tidak Adil dan Minim Transparansi

GM Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Henriawan, menyebut pemberlakuan pembayaran royalti musik merupakan bentuk ketidakadilan

Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Laelatunniam
TRIBUNLOMBOK.COM/WAWAN SUGANDIKA
POLEMIK ROYALTI MUSIK - General Manager (GM) Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Henriawan. Ia menyebut pemberlakuan pembayaran royalti musik merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha perhotelan. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – General Manager (GM) Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Henriawan, menyebut pemberlakuan pembayaran royalti musik merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha perhotelan.

Hal ini juga berkenaan dengan mekanisme penagihan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terhadap hotel, yang dinilainya masih belum jelas dan terkesan memaksa.

Meski demikian, pihaknya mengaku tidak menolak untuk membayar royalti sebagai bentuk penghargaan terhadap karya para musisi. Namun, ia menekankan perlunya regulasi yang lebih rinci, transparan, dan adil bagi pelaku usaha perhotelan.

“Kami setuju memberikan royalti ke musisi, tapi peraturan perundangannya harus benar-benar didetailkan lagi. Misalnya, dasar perhitungan jumlah kamar itu seperti apa. Hotel kan tidak selalu penuh, okupansi naik turun,” ucap Yeyen saat ditemui, Kamis (14/8/2025).

Ia juga menambahkan, beban biaya yang dikenakan kepada hotel juga harus realistis.

Yeyen mencontohkan, Aruna Senggigi yang memiliki 136 kamar justru dikenakan tarif minimum untuk 150 kamar, sehingga total pembayaran mencapai sekitar Rp6 juta per tahun.

“Kalau mau adil, harusnya disesuaikan. Bukan dipukul rata seperti itu,” ujarnya.

Yeyen juga mempertanyakan transparansi penggunaan dana royalti.

Ia menyoroti tidak adanya sosialisasi memadai terkait lagu-lagu yang masuk kategori LMKN dan penyaluran dana tersebut.

“Kami ingin tau penyaluran dana tersebut ke mana, harusnya kan terbuka, agar kami pihak hotel juga tau dana tersebut benar-benar disalurkan, begitu juga dengan dana cadangan 30 persen di LMKN, itu buat apa, harus jelas,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia juga mengaku keberatan dengan pola penagihan yang dilakukan, termasuk adanya ancaman sanksi somasi dan pidana, bagi pihak yang tidak membayar.

“Tiba-tiba dapat surat penagihan, kemudian juga ada tindakan ancaman akan dibawa ke ranah hukum,” tegasnya.

Ia juga menilai dasar perhitungan royalti yang mengacu pada jumlah kamar tidak sesuai. Yeyen mengatakan, untuk fasilitas TV di kamar, Aruna Hotel menggunakan layanan provider berbayar, sehingga hak cipta musik yang diputar sudah termasuk dalam biaya layanan tersebut.

“Terus untuk dengan dasar TV yang digunakan memutar musik di kamar, kami pake provider dan kami itu bayar, ini kan masih sangat abu-abu sekali,” demikian Yeyen.

 

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved