Kasus Korupsi NCC
Sidang ke-17 Kasus NCC, Rosiady Husaeni Sayuti Hadirkan 3 Saksi Kunci
Agenda sidang, terdakwa Rosiady menghadirkan tiga saksi kunci yakni dari pihak konsultan, kontraktor, dan Kepala BLKPK NTB.
Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Sidang ke-17 kasus dugaan korupsi pembangunan gedung pengganti NTB Convention Center (NCC) yang melibatkan mantan Sekda NTB, Rosiady Husaeni Sayuti, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (11/8/2025).
Agenda sidang, terdakwa Rosiady menghadirkan tiga saksi kunci dari pihak konsultan, kontraktor, dan Kepala Balai Laboratorium Kesehatan dan Pengujian Konstruksi (BLKPK) NTB.
Dalam persidangan, para saksi secara tegas membantah adanya kerugian negara dan menyebut seluruh pembiayaan berasal dari pihak swasta, yakni PT Lombok Plaza.
Bahkan, proyek gedung baru pengganti NCC ini dibangun sesuai ketentuan, sehingga berdampak positif meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTB dari sektor pelayanan kesehatan.
Kepala BLKPK NTB, dr. Handomi, MM, M.Kes, menyampaikan bahwa gedung baru yang dibangun sebagai pengganti NCC telah beroperasi tanpa kendala sejak pertama kali digunakan.
Fasilitas tersebut tidak hanya layak secara teknis, tapi juga terbukti mendongkrak PAD daerah secara signifikan.
“Dalam tiga tahun, hampir Rp9 miliar PAD masuk dari gedung ini. Bangunan ini bukan hanya layak, tapi sangat bermanfaat bagi pelayanan kesehatan dan pemasukan daerah,” ujar Handomi.
Ia merinci, pada tahun 2022 PAD yang dihasilkan mencapai Rp4 miliar, turun sedikit menjadi Rp3,5 miliar pada 2023, dan per Agustus 2025, sudah menyumbang Rp 1,5 miliar.
Dari pihak konsultan proyek, M. Kodrat mengungkapkan bahwa pembayaran jasanya sebesar Rp100 juta berasal langsung dari PT Lombok Plaza, bukan dari anggaran pemerintah.
Ia juga menegaskan bahwa Detail Engineering Design (DED) proyek ini telah disahkan secara resmi oleh Kepala Dinas PUPR NTB, Dwi Sugianto, dan Sekda NTB saat itu, almarhum H. Muhammad Nur, dengan nilai Rp 6 miliar.
Ia membantah klaim adanya Rencana Anggaran Biaya (RAB) senilai Rp12 miliar yang menjadi dasar dakwaan.
“Tidak pernah ada RAB resmi senilai Rp12 miliar,” ujarnya.
Senada dengan Kodrat, kontraktor pelaksana M. Mardi menegaskan bahwa RAB Rp12 miliar yang disebut dalam dakwaan hanyalah usulan yang tidak ditandatangani pejabat berwenang, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.
“RAB resmi hanya Rp6 miliar, lengkap dengan RKS dan gambar teknis dalam DED, semuanya disahkan PUPR dan Sekda,” jelas Mardi.
Ia juga menyatakan bahwa proyek berjalan sesuai rencana, telah selesai 100 persen, diserahkan tanpa masalah, dan langsung dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi NTB.
Kuasa Hukum Rosiady: 19 Saksi Sudah Diperiksa, Tidak Ada Aliran Dana
Kuasa hukum terdakwa, Rofiq Ashari, menyebut keterangan tiga saksi hari ini semakin memperjelas bahwa tidak ada aliran dana ke kliennya.
“Dari 19 saksi yang sudah dihadirkan, tidak ada satu pun yang mengatakan ada penerimaan uang oleh Pak Rosiady. Uang negara pun tidak keluar sepeser pun. Semua pembiayaan murni dari PT Lombok Plaza,” tegas Rofiq.
Ia menekankan bahwa jika proyek bernilai Rp6 miliar ini dibiayai swasta dan berhasil mendatangkan hampir Rp9 miliar PAD dalam waktu tiga tahun, maka secara logika justru negara diuntungkan, bukan dirugikan.
“Kalau korupsi itu merugikan negara. Di sini, mana kerugiannya? Justru untung. Gedungnya ada, kualitasnya bagus, PAD meningkat. Ini fakta persidangan, bukan opini,” tandasnya.
Rofiq juga menanggapi tuduhan jaksa soal nilai proyek yang disebut Rp12 miliar. Ia menyebut angka tersebut tidak sah secara hukum.
“RAB 12 miliar itu hanya usulan tanpa tanda tangan, tidak sah, tidak pernah digunakan. Yang sah dan dipakai adalah DED senilai Rp 6 miliar yang disahkan resmi oleh PUPR dan Sekda. Jadi, dakwaan itu goyah,” ujarnya.
Dakwaan JPU
Sebelumnya, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB Rosiady Husaini Sayuti menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Mataram, Senin (2/6/2025) lalu
Sidang Rosiady digelar dengan agenda pembacaan dakwaan perkara korupsi kerja sama pembangunan NTB Convention Center (NCC) pada 2012-2016.
Direktur PT Lombok Plaza Dolly Suthajaya Nasution juga menjalani sidang dakwaan.
Jaksa penuntut umum mengatakan dalam peran Rosiady adalah sebagai Sekda yang mengelola aset milik daerah.
Sementara Dolly merupakan Direktur PT Lombok Plaza selaku penerima aset milik Pemerintah Provinsi NTB.
Keduanya meneken perjanjian kerja sama bangun guna serah (BGS) aset Pemprov NTB di Kelurahan Cilinaya, Kota Mataram untuk pembangunan NCC.
Awalnya aset Pemprov NTB itu merupakan Laboratorium Kesehatan Masyarakat yang kini sudah dipindahkan ke Jalan Suara Mahardika Nomor 10 Kota Mataram.
Bangunan pengganti Laboratorium Kesehatan Masyarakat senilai Rp5,2 miliar tersebut ternyata tidak sesuai dengan rancangan anggaran belanja (RAB) dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTB dan PT Lombok Plaza.
Baca juga: Pengacara Mantan Sekda NTB Rosiady Sebut Kasus NCC Hanya Soal Wanprestasi Perjanjian Kerja Sama
Hal itu terungkap setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim ahli Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB.
"Sehingga bangunan tersebut tidak tepat mutu, waktu dan biaya," kata JPU di hadapan majelis hakim.
Bangunan itu sejatinya sudah dicek tim Kementerian Kesehatan pada awal Februari 2025.
Hasilnya bangunan tersebut tidak sesuai standar Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat.
Di sisi lain, jaksa mengungkapkan gedung NCC seharusnya terbangun dalam waktu tiga tahun enam bulan sejak perjanjian ditandatangani. Namun kenyataannya bangunan NCC tidak kunjung berdiri.
PT Lombok Plaza juga tidak membayar biaya kontribusi kepada Pemerintah Provinsi NTB sebesar Rp750 juta per tahun.
"Bahwa perbuatan H Rosiady Husaini Sayuti selaku Sekertaris Daerah sebagai pengelola barang milik daerah, bersama saksi Dolly Suthajaya Nasution selaku Direktur PT Lombok Plaza dalam kegiatan kerja sama bangun guna serah, telah memperkaya orang lain yaitu Dolly Suthajaya Nasution selaku Direktur PT Lombok Plaza atau memperkaya corporate yang menyebabkan kerugian negara Rp 15,2 miliar," kata JPU.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.