Opini

Gemuruh Body Contest: Mencari Titik Temu Etika, Budaya dan Olahraga di Negeri Seribu Kearifan

Reaksi masyarakat NTB terhadap pertunjukan tubuh dalam lomba body contest bukanlah bentuk kebencian terhadap olahraga khususnya perempuan.

Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM/FIKRI
PENDAPAT - Dr. H. Ahsanul Khalik/Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan. Ia memberikan pandangan soal potongan video cabang olahraga binaraga (body contest) perempuan yang beredar di media sosial dalam ajang Fornas VIII NTB 2025. 

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik/Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan

TRIBUNLOBOK.COM, MATARAM - FORNAS VIII tahun 2025 yang digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai salah satu ajang rekreatif dan sejatinya merupakan ajang persatuan nasional melalui olahraga berbasis komunitas. 

Ribuan peserta dari seluruh provinsi datang, memperkenalkan budaya masing-masing, meramaikan ekonomi lokal, hingga menguatkan wajah NTB sebagai tuan rumah yang terbuka dan bersahabat.

Namun, di tengah euforia itu, sebuah momen memantik kegaduhan, potongan video cabang olahraga binaraga (body contest) perempuan yang beredar di media sosial. 

Meskipun kompetisi tersebut, katanya berlangsung di ruang tertutup dan bukan untuk konsumsi publik, nyatanya cuplikan visual itu menimbulkan gelombang reaksi keras. Emosi, kecaman, dan kekhawatiran memenuhi ruang digital dan nyata.

Apakah ini sekedar kontroversi pakaian? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, lebih filosofis, yang sedang terusik di ruang batin kolektif masyarakat NTB?

Yang jelas, diskusi ini tidak boleh selesai dengan saling menyalahkan. Yang lebih dibutuhkan adalah perenungan jujur, bukan hanya tentang apa yang terjadi, tapi mengapa itu menimbulkan reaksi begitu besar di NTB.

Baca juga: Cerita Edy S Munir, Pegiat Inorga Kosti Asal Lahat yang Rela Gowes Sumsel-NTB Demi Ikut Fornas

Identitas NTB bukan hanya tentang pemandangan alam yang indah. Ia hidup dalam simpul-simpul budaya yang sarat nilai. Empat suku besar yang menghuni wilayah ini yaitu Sasak, Samawa, Dompu dan Mbojo, menyimpan sistem etika yang khas dan saling melengkapi.

Dalam masyarakat Sasak, dikenal istilah "bilao" yang merupakan ekspresi adat yang terbungkus nilai (rasa malu, harga diri dan kehormatan) yang bukan sekedar emosi, tapi cara menjaga martabat dan merupakan norma batiniah yang dijaga untuk menjaga kehormatan diri, keluarga, dan komunitas. Bilao menuntun seseorang agar tidak bertindak di luar batas kewajaran menurut pandangan masyarakat adat dan agama.

Dalam komunitas Samawa, ada ungkapan “Tao na lanti malu, de na tau ta ra’i” (Orang yang tidak tahu malu bukanlah orang yang utuh). Ini menandakan bahwa rasa malu merupakan salah satu indikator kematangan moral dan sosial. Segala yang dipertontonkan kepada khalayak harus terlebih dahulu disaring oleh kesadaran kolektif, apakah itu pantas, apakah itu membawa nilai, apakah itu memberi teladan?

Sementara dalam budaya Dompu dan Mbojo, hidup dengan falsafah “Rasa malu adalah pagar adat”. Yang biasa disebut dengan “Maja labo dahu,”  yang bermakna malu dan takut (akan dosa, akan hukum adat, akan aib). Perempuan dihormati dalam ruang yang menjaga martabatnya. Tubuh bukan semata urusan pribadi, tapi menyatu dalam kehormatan keluarga besar dan masyarakat luas.

Dalam seluruh komunitas etnis di NTB, apakah di Pulau Lombok (Sasak) ataupun Pulau Sumbawa (Samawa, Dompu, dan Bima), rasa malu adalah tiang utama pembentuk harga diri dan etika sosial.Ia bukan sekadar perasaan individual, tapi penjaga struktur sosial, pengontrol perilaku, dan pembentuk martabat manusia.

Dengan demikian, reaksi masyarakat NTB terhadap pertunjukan tubuh dalam lomba body contest "bukanlah bentuk kebencian terhadap olahraga khususnya perempuan," tetapi ekspresi spontan dari sistem nilai yang terus terawat dalam kesadaran sosial. Ini bukan tentang anti olahraga, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai lokal merasa terusik oleh visualisasi yang dianggap bertabrakan dengan norma rasa malu dan kehormatan yang diwariskan turun temurun.

Kita tentu tidak bisa menolak kenyataan bahwa binaraga adalah cabang olahraga resmi, dengan standar dan teknisnya sendiri. Pakaian yang dikenakan bukan dalam rangka vulgaritas (versi olah raga), melainkan keharusan dalam penilaian proporsi otot dan teknik kompetisi. Sama halnya dengan atlet renang, voli pantai, atau senam.

Namun pertanyaannya, apakah semua bentuk kebolehan teknis bisa diterima secara sosial tanpa dialog?

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved