Bahasa Langit tentang Hidup dan Kebaikan yang Tak Membeda

Ketika dunia mulai diam, dan hanya zikir yang berbisik di antara tarikan napas, jiwa ini merenung, untuk apa kita hidup, dan kepada siapa kita kembali

Dok.Istimewa
Dr Ahsanul Khalik. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB dan Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan. 

Oleh : Dr Ahsanul Khalik
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB dan Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan

Di sepertiga malam yang sunyi, ketika bising dunia perlahan meredup dan hanya detak hati yang tersisa memanggil-Nya, jiwa ini bertanya pelan, tentang hidup, tentang Tuhan, dan tentang arti kebaikan yang tak terhenti pada batas buatan manusia.

Ketika dunia mulai diam, dan hanya zikir yang berbisik di antara tarikan napas, jiwa ini merenung, untuk apa kita hidup, dan kepada siapa kita kembali?

Bukankah kita semua berasal dari satu nafas ilahi? “Dan Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya…” (QS. Al-Hijr: 29)
Lalu dari mana datangnya angkuh karena warna kulit?
Dari mana tumbuhnya kebencian karena beda nama, atau karena sujud kita menghadap arah yang berlainan?
Mengapa kita menengok manusia dari bungkusnya?
Mengapa kita mencintai hanya yang serupa dan menolak yang berbeda?

Rasulullah ﷺ adalah bahasa langit yang menjelma dalam cinta bumi. Beliau adalah rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya untuk satu suku, satu golongan, atau satu warna kulit.
Baginda mengusap kepala anak yatim Yahudi, membalas kunjungan perempuan tua yang mencaci, dan menghormati jenazah non Muslim yang lewat, karena kata beliau, "bukankah itu juga jiwa manusia?"

Baginda tak hanya mengajarkan shalat dan puasa, tetapi juga mengajarkan untuk tidak mencela keyakinan orang lain, untuk menolong siapa pun yang jatuh dan untuk menghapus sekat di hati sebelum menghapus dosa di langit.

Pernahkah kita bertanya, Apa arti kebaikan, bila hanya diberikan pada yang serupa? Apa arti ukhuwah, bila hanya sebatas satu bendera iman?
Lalu di mana letak kemuliaan jika kebaikan kita hanya untuk yang ‘sama’? Di mana cahaya Islam jika kasih kita terhenti oleh nama dan garis batas? 
Hidup ini ujian, bukan kemenangan status.
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa…” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dan takwa… hanya Allah yang tahu tempat ia berdiam.

Maka malam ini,
biarlah kita belajar menjadi manusia yang lebih lapang, seperti langit yang tak pernah memilih siapa yang boleh dinaungi, seperti hujan yang jatuh kepada siapa saja yang membutuhkan.
Malam ini, kita ingin menjadi hamba yang tidak membeda, yang memeluk manusia sebagaimana langit memeluk bumi, tanpa tanya dari mana asalnya, tanpa syarat apa agamanya.

Karena lapar tetaplah lapar, tangis tetaplah tangis, dan tangan yang meminta tetaplah tangan yang harus ditolong.
Di hadapan Allah, semua jiwa memiliki hak yang sama untuk dicintai.

Karena ketika kita dikembalikan ke bumi, tanah tak menanyakan suku kita, kubur tak mempersoalkan jenis kelamin, dan Allah tak menimbang dari kulit dan nama, tapi dari hati yang ikhlas dan amal yang luas.

Ya Allah…
Jadikan hatiku bening seperti air yang Kau turunkan dari langit,
yang membasahi siapa pun yang membutuhkan,
yang tidak memilih atap siapa yang dinaunginya, lembutkanlah hatiku, agar kebaikan mengalir tanpa batas, agar kasihku tak dikungkung sekat dunia, Jangan jadikan aku manusia yang membeda, tapi jadikan aku cahaya kecil yang terus menebar makna “rahmatan lil ‘alamin,” meski dalam sunyi yang tak terlihat.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved