Truk Sapi Antre di Gili Mas
Curhat Pilu Sopir Truk Sapi di Pelabuhan Gili Mas, 5 Hari Terjebak hingga Biaya Operasional Menipis
Sejumlah sopir pengangkut sapi Bima kini harus menelan kenyataan pahit, waktu terbuang, biaya membengkak imbas panjangnya antrean di Gili Mas
Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Idham Khalid
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, NTB - Harapan untuk membawa pulang jutaan rupiah sirna sudah bagi para sopir truk pengangkut sapi yang tertahan hingga lima hari di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat.
Berangkat dari Bali menuju Bima dengan semangat mengais rezeki, sejumlah sopir kini harus menelan kenyataan pahit. Waktu terbuang, biaya membengkak, dan keuntungan hanya tinggal hitungan.
“Saya sudah 5 hari pak di sini menunggu jadwal nyebrang, makan dengan uang sendiri, minum dan rokok pun ditanggung sendiri,” ungkap I Made Budarsana, salah satu sopir truk asal Bali, saat ditemui TribunLombok.com, Rabu (23/4/2025).
Berbekal tekad dan modal pas-pasan, para sopir rela melintasi pulau tanpa tidur, menjaga konsentrasi penuh di balik kemudi demi mendapatkan upah layak dari satu ekspedisi.
Namun, semua itu tak sebanding ketika mereka harus tertahan berhari-hari tanpa kejelasan jadwal penyeberangan ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
“Jelas macetnya penyeberangan di Pelabuhan Gili Mas berdampak. Masalah pinansial materi setiap hari buat makan, jadi pemasukan kita berkurang,” ucap Budarsana lirih.
Ia menuturkan, keuntungan bersih dari satu perjalanan ekspedisi yang idealnya bisa mencapai Rp3 juta, kini hanya menyisakan sekitar Rp1,5 juta, bahkan kurang. Kerugian makin terasa karena mereka harus menanggung seluruh kebutuhan pribadi selama menunggu, seperti makan, minum, dan kebutuhan harian lainnya.
“Tahun kemarin saja yang tertahan 2 harian itu cuman kita dapat bersih Rp3 juta, tahun ini mungkin hanya Rp1,5 juta saja, bahkan kurang,” imbuhnya.
Baca juga: Lima Hari Tertahan di Gili Mas, Peternak Sapi Bima Terjepit Ongkos dan Ancaman Kerugian
Menurut Budarsana, satu kali ekspedisi pengantaran biasanya dihargai Rp30 juta oleh perusahaan. Dari jumlah itu, sekitar Rp16 juta habis untuk biaya operasional, seperti bahan bakar, tol, dan makan di jalan. Sementara pemilik truk menuntut setoran rutin, meskipun kondisi di lapangan tak memungkinkan untuk mendapatkan margin keuntungan yang sama.
“Hitungan ekspedisi tidak ada hitungan, cuman ini kan modelnya setoran mobil, kalau bos minta setoran terus kita di sini ada pembengkakan biaya, jadi di situlah kerugian yang kita alami,” jelasnya.
Kondisi ini membuat banyak sopir hanya bisa berharap segera diseberangkan agar dapat kembali menjalankan roda ekonomi mereka.
“Dari 30 juta itu ongkosnya saja sudah habis sampai Rp16 juta, belum untuk bos, belum untuk biaya di jalan. Hitung rugi mungkin tersisa Rp1,5 juta, dan kebanyakan habis di jalan,” tutup Budarsana.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.