Berita NTB
KPK Temukan Indikasi Penyimpangan Pengelolaan Dana Pokir di NTB
KPK RI menemukan sejumlah kejanggala pengelolaan dan pokir di NTB, mulai penyaluran hingga dugaan penerima yayasan fiktif
Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Idham Khalid
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi wilayah V mengungkap, pengelolaan dana pokir anggota DPRD di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalir ke yayasan fiktif.
Hal tersebut disampaikan Kasatgas Korsup wilayah V KPK Dian Patria pada saat sosialisasi pencegahan korupsi atas pengelolaan anggaran pokir di Mataram.
Dian menjelaskan bahwa Pokir, yang seharusnya menjadi program berbasis kebutuhan masyarakat, kerap disalahgunakan, bahkan dialirkan pada yayasan fiktif.
"Kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon. Ini tidak hanya menyimpang dari tujuan pembangunan, tetapi juga membuka celah korupsi," kata Dian, Jumat (22/11/2024).
Sesuai dengan Permendagri Nomor 86 tahun 2017, Pokir DPRD seharusnya digunakan sebagai saran dan pendapat berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat sebagai bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan, dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Di Kota Mataram, KPK mencatat beberapa penyimpangan Pokir, meliputi pengajuan Pokir yang tidak sesuai prosedur, perubahan Pokir setelah pembahasan anggaran, penyaluran hibah uang kepada yayasan yang tidak jelas legalitasnya.
Bahkan ada indikasi milik anggota DPRD sendiri, hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan sosial (bansos).
Tahun 2024 diketahui total anggaran Pokir DPRD Kota Mataram mencapai Rp92 miliar. Sementara pada realisasinya baru 50,1 persen atau Rp46 miliar, yang dilokasikan pada 25 OPD. Sayangnya Pokir ini sebagian besar digunakan dalam bentuk hibah uang, bukan program.
Dian menambahkan bahwa praktik-praktik tersebut juga telah menjadi temuan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di NTB. Dian mengatakan satu anggota dewan anggaran pokirnya mencapai Rp 3 miliar.
Baca juga: KPK Catat Rp 15 Miliar Keuangan Negara Berhasil Diselamatkan di NTB Selama 2024
Bahkan ada anggota DPRD dapil Kota Mataram tetapi realisasi pokirnya dilakukan di Kabupaten Sumbawa, kejadian ini membuat Dian menduga adanya indikasi jual beli pokir.
“BPK menemukan yayasan fiktif dan hibah yang tidak sah, sementara bantuan sosial sering disalurkan tanpa prosedur yang benar," ungkapnya.
KPK mengingatkan para anggota Dewan untuk tidak lagi melakukan hal serupa. Bahkan, Dian memberikan rekomendasi perbaikan dalam tata kelola perencanaan dan penganggaran agar selaras dengan aturan.
Rekomendasi tersebut meliputi transparansi dan kepatuhan aturan, seperti Pokir harus berupa program yang dirancang oleh OPD sesuai dengan aspirasi masyarakat dan melarang penyisipan program yang tidak relevan ke dalam RKPD dan RPJMD.
Lantas, “Pengendalian konflik kepentingan juga penting, agar bisa menghapus praktik titipan proyek atau jatah anggaran serta memastikan usulan Pokir melalui mekanisme e-Planning pada Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD),” kata Dian.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.