Idul Adha
Mengenal Tradisi Roah di Desa Rembitan Lombok Tengah saat Lebaran Idul Adha
Roah bagi masyarakat Desa Rembitan sudah dilakukan secara turun-temurun dan memiliki makna yang dalam.
Penulis: Sinto | Editor: Wahyu Widiyantoro
Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Sinto
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Roah merupakan sebuah tradisi doa bersama yang rutin dilakukan oleh laki-laki di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Roah merupakan tradisi rutin yang dilakukan setiap tahun pada hari-hari besar Islam, seperti, menyambut Bulan Puasa, Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.
Tokoh Agama Desa Rembitan Kiyai Sani mengatakan, tradisi ini biasanya dilakukan di masjid, musala atau rumah warga.
"Ini adalah bentuk rasa syukur kami sebagai umat Muslim yang dapat dipertemukan pada hari raya Idul Adha ini," kata Faisal kepada Tribun Lombok, Rabu (19/6/2024).
Dikatakan Kiyai Sani, Roah bagi masyarakat Desa Rembitan sudah dilakukan secara turun-temurun dan memiliki makna yang dalam.
Acara roah tidak hanya sekedar doa bersama, tetapi juga melibatkan tradisi makan bersama untuk menunjukkan rasa kebersamaan dan mempererat persaudaraan.
Baca juga: Roah Kebian, Tradisi Masyarakat Desa Rembitan Lombok Tengah Sambut Ramadhan
"Para perempuan atau ibu-ibu rumah tangga berperan dalam menyiapkan hidangan yang diantarkan ke lokasi dengan menggunakan dulang atau baki besar," sebut Kiyai Sani.
Kiyai Sani menjelaskan, roah bukan hanya untuk menyambut hari besar.
Tak jarang juga masyarakat Desa Rembitan melakukan ritual itu pada pasca hari raya.
Roah bukan hanya bisa dilakukan di masjid atau musala saja.
Namun, ritual juga bisa dilakukan di rumah-rumah warga yang merasa mampu melakukan.
Baca juga: Roah 1001 Tebolak Beak, Acara Adat Masyarakat Lombok Timur Sambut Bulan Suci Ramadan
"Jadi ada yang di mushola, ada yang di masjid dan ada yang di rumah mereka. Secara bergantian," terangnya.
Prosesi 'Mesilaq'
Dikatakan Kiyai Sani, sebelum roah dilakukan akan ada satu orang yang akan berkeliling kampung untuk mengajak warga untuk zikir.
Ajakan itu biasa disebut sebagai 'Mesilaq'. Orang yang bertugas seperti ini biasanya dilakukan oleh tuan rumah.
"Tapi sebelum roah itu akan ada satu orang yang keliling kampung untuk Mesilaq (mengajak) untuk roah. Mengajak warga yang lain bahwa nanti akan ada roah di tempat A atau tempat B," imbuhnya.
Ia mengatakan, petugas Mesilaq ini juga tak boleh dilakukan oleh orang sembarangan.
Mereka harus mampu berkomunikasi dengan bertutur kata dengan bahasa Sasak halus.
"Itu untuk menunjukkan bahwa kita itu adalah orang Sasak yang memang harus mengedepankan sopan dan santun dalam berprilaku," katanya.
Zikir Dipimpin Tuan Guru atau Ustaz
Pria yang juga guru ngaji ini menjelaskan bahwa pada saat semua tamu undangan sudah berkumpul.
Roah biasanya dipimpin oleh pemuka agama yang biasa disebut sebagai Tuan Guru..
"Jadi tamu undangan yang lain itu tinggal mengikuti apa yang dibaca sama yang memimpin saja," ujarnya.
Bacaan-bacaan yang dibaca juga sudah sangat tersusun. Mulai dari pembacaan surat al-fatihah awal, disusul oleh pembacaan al-ikhlas 3 kali, al-falaq 1 kali, an-nas 1 kali, al-fatihah 1 kali dan al-baqarah ayat 1-7.
Pada doa mereka, disisipkan doa-doa selamat bagi yang punya hajatan dan meminta agar keluarga yang sudah meninggal dunia diberikan tempat yang lapang di akhirat.
"Setelah itu baru zikir kemudian doa dipimpin oleh Tuan Guru," bebernya.
Baca juga: Tradisi Roah Lebaran Topat di Lombok, Ajang Jalin Silaturahmi dan Panjatkan Doa
Begibung
Begibung ini bukan tradisi yang hanya bersifat seremonial saja, akan tetapi mengandung banyak makna filosofi didalamnya.
Pertama, sebagai perwujudan kesetaraan dan keadilan. Yakni menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan si kaya dan si miskin, si yang berpendidikan tinggi dan rendah.
Dalam begibung ini semua akan diperlakukan sama dan melebur menjadi satu dalam wadah makan yang bernama nare atau nampan yang ditutup dengan tembolak merah.
"Selain itu, kami juga ingin menumbuhkan solidaritas dan persaudaraan. Dengan kegiatan ini kami bermaksud mengajak semua pihak untuk bersama-sama membangun desa ini," katanya.
Dikatakannya, begibung juga memiliki makna penyambung dan perekat tali silaturrahmi.
Menurutnya, melalui tradisi ini orang-orang yang sudah lama tidak bertemu atau bertutur sapa dengan teman akan mudah dipertemukan.
"Makanya ini setiap tahun kita lakukan untuk tetap mempererat silaturahmi kita di kampung," tukasnya.
Ngawon
Step terakhir dari roah adalah pulang ke rumah masing-masing.
Namun tak jarang peserta roah ini akan pulang dengan menenteng sisa makanan atau minuman ke rumah mereka.
Hal itu disebut sebagai 'Ngawon'.
Ngawon biasanya dilakukan untuk menghormati pemilik acara agar semua hidangan yang disediakan habis untuk dimakan atau dibawa pulang dengan menggunakan plastik atau keresek.
"Karena niat sejak awal pemilik acara ini memang bersedekah. Jadi kalau dibiarkan di sana akan mubazir. Jadi pemilik acara menyediakan keresek untuk dibawa pulang," pungkasnya.
(*)
Apakah Boleh Tidak Shalat Jumat saat Idul Adha 2025 dan Masih Wajib? Simak Penjelasan Lengkapnya! |
![]() |
---|
Tata Cara, Niat dan Waktu yang Tepat Mandi Sebelum Shalat Idul Adha 2025 yang Benar |
![]() |
---|
Sunnah Sebelum Shalat Idul Adha 2025: Bolehkah Makan Dulu atau Jangan? Ini Penjelasan dan Jawabannya |
![]() |
---|
Resep Sate Kambing Bumbu Kecap Mudah Agar Tidak Bau, Cocok Jadi Olahan Daging Kurban Idul Adha 2025! |
![]() |
---|
Racikan Bumbu Sate Kambing, Cuma 4 Bahan untuk Olesan Daging Kurban Idul Adha Tahun 2025! |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.