Wawancara Khusus

Budiman Sudjatmiko: Ada yang Menantang Tetapi yang Pro Juga Tidak Sedikit

Nawaitunya itu mulai dari saya, tidak diperintahkan oleh partai, tidak diperintahkan juga oleh Pak Jokowi, tidak juga diminta Pak Prabowo.

|
Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Politisi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di gedung Tribun Network, Jakarta, Selasa (15/8/2023). 

TRIBUNLOMBOK.COM - Politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko melakukan pertemuan dengan Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta Selatan, 18 Juli 2023.

Langkah Budiman ini memantik pro dan kontra di internal PDIP. Sebenarnya apa saja yang dibicarakan oleh keduanya saat bertemu?

Berikut petikan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Budiman Sudjatmiko di gedung Tribun Network, Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Baca juga: PDIP Masih Fokus Mengurus Ganjar, Belum Putuskan Nasib Budiman Sudjatmiko Batal di Partai

Banyak versi mengenai pertemuan Anda dengan Pak Prabowo di 18 Juli 2023, bisa diceritakan nawaitu pertemuan ini siapa yang menginisiasi?

Nawaitunya itu mulai dari saya, tidak diperintahkan oleh partai, tidak diperintahkan juga oleh Pak Jokowi, tidak juga diminta Pak Prabowo.

Itu hasil diskusi dengan tim saya tentu saja, dan boleh saya katakan hasil diskusi saya dengan korban penculikan 1998.

Sudah lama diskusi tersebut tetapi mereka menyampaikan bahwa sudah saatnya kasus penculikan aktivis 1998 tidak dijadikan komoditi politik lima tahunan.

Rasa-rasanya selama ini kasus kami hanya muncul lima tahun sekali tapi kemudian tidak pernah diselesaikan menjadi keuntungan politik.

Sementara dulu kami berjuang karena memiliki cita-cita besar, cita-cita itulah membuat saya ditangkap, teman-teman diculik, ada yang di penjara diadili segala macam.

Itu kan terjadi karena kita punya cita-cita, tapi cita-cita itu tidak pernah menjadi perbincangan publik. Luka kami yang jadi perbincangan publik namun cita-citanya seolah nggak direkam.

Saatnya yang mereka dulu menculik demokrasi harus ke panggung dan berbicara.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Budiman Sujatmiko mendeklarasikan relawan Prabowo Budiman Bersatu (Prabu) di Marina Convention Center, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Budiman Sujatmiko mendeklarasikan relawan Prabowo Budiman Bersatu (Prabu) di Marina Convention Center, Kota Semarang, Jawa Tengah. (KOMPAS.COM/MUCHAMAD DAFI YUSUF)

Bahwa kami mengalami semua itu adalah karena cita-cita politik, untuk Indonesia, bukan sekadar sakitnya dijadikan propaganda politik lima tahunan.

Apakah Anda juga berpikir bahwa bakal calon presiden kita tidak dalam kondisi head on?

Apa yang dihead on-kan, apa yang dihadapkan hanya karena posisi formal menjadi bacapres itu saja. Sementara ide yang saya kemukakan melampaui sekadar bacapres.

Kalau kita bisa menyatukan visi yang sama untuk Indonesia saya pikir konsekuensinya apa yang tadinya mau dipertandingkan siapa tahu bisa dipersatukan.

Apakah boleh saya katakan Mas Budiman sedang melakukan kampanye agar PDIP dan Gerindra bersatu?

Maunya saya begitu secara konkret. Ditambah Golkar dan PAN mungkin tambah lebih baik lagi. Mungkin persatuannya bisa lebih kebal.

Atau mungkin Mas Budiman ingin mengatakan bacapresnya PDIP dan bacapresnya Gerindra disatukan?

Kalau soal sekonkret itu tidak menjadi fokus saya. Bukan domain saya. Fokus adalah persatuan nasional bukan hanya menghadapi pemilu 2024 tapi saya membayangkan ini berjangka panjang.

Kita tahu bahwa Indonesia ini tidak punya GBHN (garis besar haluan negara), tidak punya pembangunan jangka menengah dan jangka panjang antara 25 tahun ke depan.

Syarat untuk memastikan kita mencapai jangkauan jangka panjang tidak putus di tengah jalan atau tidak mandek dan tidak berbelok. Maka kekuatan politik ini bisa bertemu membahas persoalan strategis minimal sampai 2045.

Saya tidak tahu wajah manusia akan seperti apa tetapi tetap ada kesinambungan yang disepakati oleh partai-partai besar dan memang nasionalis untuk kemajuan NKRI berdasarkan Pancasila.

Apapun niat Anda, tetapi ini sudah menimbulkan kehangatan politik. Kalau saya boleh tahu apa yang sudah disampaikan kepada pengurus PDIP?

Kurang lebih sama seperti yang saya sampaikan saat diajak ngopi Pak Hasto. Ngobrol secara informal dengan Pak Bambang Pacul. Dan rata-rata kurang lebihnya mereka bisa memahami ini di mana untuk kebutuhan strategis yang tampaknya nggak ada terobosan-terobosan.

Mereka mengapresiasi langkah saya cukup diharapkan bermakna. Justru karena saya tidak menjadi caleg, pengurus partai sehingga saya punya kekuasaan secara individu untuk bertemu. Diharapkan ada persatuan nasional untuk menjawab tantangan-tantangan kita ke depan.

Setelah pertemuan 18 Juli apakah ada notifikasi langsung dari kolega karena ini kan menimbulkan pro dan kontra?

Iya tentu ada yang menantang, tetapi yang pro juga tidak sedikit. Minggu lalu saya kan ke Medan. Apa yang sampaikan itu menegaskan persatuan nasional dari semua unsur.

Unsur gerakan masyarakat sipil dan unsur agama. Bahkan belum ada satu artikel pun yang menyerang saya, justru artikel, blog, di Facebook mendukung.

Banyak orang mengaitkan pertemuan Anda ini dengan cara berpikirnya Pak Jokowi? Bagaimana pendapat Anda?

Bukan hanya Pak Jokowi, tapi ini juga sebenarnya cara berpikirnya Bu Megawati juga, Pak Prabowo, Pak Luhut, dan Pak Andika. Mereka yang sudah saya ajak bicara. Tapi sekali lagi saya tidak diperintahkan oleh tokoh-tokoh ini.

Banyak orang mengira Anda adalah utusan informal Pak Jokowi?

Saya kira Pak Jokowi punya banyak orang yang lebih percaya untuk menyampaikan hal-hal yang strategis itu. Kalau ini dianggap strategis ya oleh beliau. Dan saya kira Pak Jokowi punya instrumen kredibel.

Tapi kan saya tidak harus menunggu Pak Jokowi untuk mengatakan hal yang benar untuk bangsa.

Saya hanya membaca apa yang beliau lakukan, oh kira-kira Pak Jokowi butuhnya ini. Kira-kira begitu. Sekali lagi ini hanya tafsiran saya.

Sebenarnya benar tidak sih Pak Jokowi itu punya keinginan menyatukan PDIP dan Gerindra?

Saya sih merasa begitu. Sekali lagi ini tafsiran saya, wong saya belum pernah ngomong langsung soal ini. Kalau menurut saya Pak Jokowi menginginkan lebih dari menyatukan kedua partai.

Memang hanya kebetulan PDIP dan Gerindra memiliki bakal calon presiden yang definitif.

Tapi kemudian Golkar dan PAN mendukung Gerindra kemarin. Itu mudah-mudahan akan ada hal yang substantif lagi ke depannya.

Tapi Mas Budiman apakah melihat ini akan melibatkan kubunya Pak Anies Baswedan dengan pendukungnya?

Kalau kaya begitu semua, nanti nggak ada Pemilu repot. Masa cuma ada satu calon lawan kotak kosong kan nggak bisa.

Kalau saya ketemu Pak Anies atau cawapresnya Pak Anies siapapun itu ya paling obrolannya menjadi lawan yang sama-sama ide untuk Indonesia.

Perspektifmu apa terserah, tapi ayo kita masuk ke cara pandang, visi misi dan hentikan kampanye kebencian. Kita harus menuju pertarungan global.

Memang Mas Budiman melihat kampanye kebencian levelnya pada tahap apa mengkhawatirkan kah?

Belum parah, tapi kalau dibiarkan kampanye orang akan terus saja berbicara soal kebencian.

Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Ketum Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di  Kertanegara No 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2023) malam.
Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Ketum Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Kertanegara No 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2023) malam. (TRIBUNNEWS.COM)

Jadi bukan racing to the top tapi racing to the bottom. Untuk membuat unggul bukan dengan menjelek-jelekan, mereka akan membuat elektabilitas lawannya turun.

Yang rugi siapa, yang rugi bukan saya tapi anak-anak dan cucu-cucu kita. Indonesia kan satu-satunya negara yang kita punya. Sayang sekali apalagi dunia sedang bergolak.

Kemarin adik Pak Prabowo (Hashim Djojohadikusumo) memberikan tafsir bahwa Mas Budiman memberikan endorse, kalau menurut penjelasan Anda seperti apa?

Tafsir dari Pak Hashim itu memang apa yang didiskusikan kami bersama. Memang kami tidak pernah berhadapan dengan Pak Prabowo, yang dulu kami lawan kan Pak Soeharto. Dan saat itu jenderalnya Pak Soeharto banyak, bukan hanya Pak Prabowo.

Kita sampai satu kesimpulan setelah 25 tahun berhadapan, bahwa kami bersama teman-teman yang lain sedang menjalankan tugas sejarah.

Sementara Pak Prabowo pada waktu itu bersama jenderal-jenderal yang lain menjaga tugas negara.

Waktu itu 25 tahun lalu tugas sejarah dan tugas negara nggak akur. Ini nggak boleh terjadi tugas sejarah dan tugas negara harus akur.

Karena nanti ke depan sejarah yang akan menguji negara gitu lho. Apakah negara bisa melakukan atau nggak. Jadi itu saya bicarakan baik dari aspek ekonomi, aspek geo-ekonomi, aspek geo-politik, aspek geo-strategis.

Saya berbicara 1 setengah jam waktu itu disaksikan beberapa teman tim saya, dan beberapa media.

Sampai satu kesimpulan pasangan calon jangan dijadikan lawan elektoral, yang rugi bangsa Indonesia. Sebagaimana saya yakin Pak Prabowo melihat.

Kami pun kekuatan elektoral yang akan rugi juga, bayangkan kalau dua calon debat, orang bingung apa yang didebatkan ya wong sama kok.

Nggak ada hal teknis, taktis. Debat itu kan bidang politis bukan strategis.

Itu nanti urusan kementerian, urusan mengangkat menteri siapa, pendekatannya seperti ini. Bahkan bukan menteri, itu urusan dirjen dan direktur kementerian seperti apa.

Bukan di level perbedaan teknis dan taktis itu kemudian menentukan perbedaan presiden dan wakil presiden. Menurut saya itu sama saja rumah terbakar, tikus habis ke luar.

Karena siapapun yang menang nanti, kemenangannya pasti akan tipis. Ketika tingkat kepuasan pemerintah Jokowi yang approval ratenya 90 persen maka secara mental, kebatinan, dan psikologis ini akan sulit dipercaya.

Saya tidak mengatakan penerus Pak Jokowi ini harus 90 persen approval ratenya, almost impossible, tapi jangan terlalu jauhlah.

Saya pernah berbicara dengan mantan Presiden Brasil di saat dia bisa mendapatkan 90 persen approval rate di periode kedua. Saya ketemu beliau 2019 diteruskan oleh Dilma Rousseff menteri strategis pembangunan.

Menang si Dilma menggantikan Luiz Inacio Lula, dengan kemenangan tipis. Diendorse oleh Pak Lula. Yang setuju dengan Lula belum tentu semuanya memilih Dilma. Dan di tengah jalan dia dimakzulkan.

Kemudian kekuasaan beralih ke tangan Jair Bolsonaro yang berbeda arah berpikirnya. Hingga akhirnya Lula muncul lagi menjadi presiden Brasil. Artinya ada periode berapa tahun yang hilang. Kita tidak mau momentum sia-sia.

Selama berapa tahun momentum hilang itu berarti tergerus. Tingkat kepuasannya berkurang dan terkuras. Hasilnya dia harus mengulang lagi setelah pengalihan kekuasan ke Bolsonaro.

Indonesia masih belum solid, sama seperti Brasil sumber daya alamnya kaya, tapi sumber daya manusianya pas-pasan.

Dampak multi partai liberal itu mudah sekali dipolarisasi. Nah itu yang saya nggak ingin terjadi di Indonesia.

Melampaui pilpres, tapi berkaitan dengan pilpres sama seperti Anda berangkat dari Bandung ke Jakarta, Anda melampaui rest area lalu berhenti di situ lalu nyampenya kapan. Kira-kira begitu.

Bisakah Mas Budiman mendeskripsikan calon presiden dalam satu kata?

Ya Oke. Mas Anies: Intelektual. Mas Ganjar: Populis. Pak Prabowo: Strategis.

Menurut saya mas Anies intellectual thinking menonjol sedangkan Mas Ganjar populis, dan Pak Prabowo menonjol strategic thinking.

Ketika Pak Jokowi merangkul Pak Prabowo dan Pak Sandi masuk kabinet buat Anda itu surprise atau bagaimana?

Surprise karena setahu saya dalam sejarah demokrasi kita belum pernah terjadi.

Tetapi kemudian memaklumi mengingat polarisasi yang tumbuh dalam dua kali pilpres dan pilkada DKI sekaligus menghadapi pandemi Covid-19 yang luar biasa.

Kalau keinginan Mas Budiman dalam menyatukan tidak tercapai itu bagaimana?
Ya nanti, kita jangan berandai-andai dulu. Masih ada waktu.

Berarti optimistis ya?

Harus optimistis. Saya dari tahun 1996 melawan Orde Baru nekat dan bikin rusuh. Tapi akhirnya nggak ada yang disomasi toh. Karena dulu kami melihat dalam pembangunan bahwa melawan Orde Baru adalah keharusan sejarah.

Itu tugas sejarah hari ini merangkul seluruh unsur bangsa Indonesia. Dulu berlawan tugas sejarah, sekarang berkawan tugas sejarah juga. Kan nggak ada lawan abadi.

Dipersilakan Mas Budiman memberikan closing statement mengenai tahun politik ini?

Pilpres dan pemilu 2024 itu bukan yang biasa-biasa saja. Setelah reformasi ada tiga pilpres yang menurut saya cukup menarik. Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.

Pilpres 2014 menegaskan bahwa sebuah demokrasi itu berjalan dengan baik.

Pilpres 2019 menguji apakah kemenangan Pak Jokowi hanya sebuah keberuntungan sekaligus menunjukkan jalan sejarahnya.

Tapi bila dilihat pilpres 2024 juga dalam kancah dunia sedang bergolak karena sedang terjadi tiga ledakan besar yaitu ledakan virus, ledakan krisis pangan, dan ledakan disrupsi media sosial.

Ledakan besar ini hanya terjadi di awal abad ke-30, dan ledakan itu membuat kekuatan kolonialisme.

Tiga ledakan selalu mengeluarkan ide-ide cemerlang, pilpres 2024 harus menjadi narasi yang futuristik tapi realistis. (Tribun Network/Reynas Abdila)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved