Wawancara Khusus

Budiman Sudjatmiko: Ada yang Menantang Tetapi yang Pro Juga Tidak Sedikit

Nawaitunya itu mulai dari saya, tidak diperintahkan oleh partai, tidak diperintahkan juga oleh Pak Jokowi, tidak juga diminta Pak Prabowo.

|
Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Politisi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di gedung Tribun Network, Jakarta, Selasa (15/8/2023). 

Yang rugi siapa, yang rugi bukan saya tapi anak-anak dan cucu-cucu kita. Indonesia kan satu-satunya negara yang kita punya. Sayang sekali apalagi dunia sedang bergolak.

Kemarin adik Pak Prabowo (Hashim Djojohadikusumo) memberikan tafsir bahwa Mas Budiman memberikan endorse, kalau menurut penjelasan Anda seperti apa?

Tafsir dari Pak Hashim itu memang apa yang didiskusikan kami bersama. Memang kami tidak pernah berhadapan dengan Pak Prabowo, yang dulu kami lawan kan Pak Soeharto. Dan saat itu jenderalnya Pak Soeharto banyak, bukan hanya Pak Prabowo.

Kita sampai satu kesimpulan setelah 25 tahun berhadapan, bahwa kami bersama teman-teman yang lain sedang menjalankan tugas sejarah.

Sementara Pak Prabowo pada waktu itu bersama jenderal-jenderal yang lain menjaga tugas negara.

Waktu itu 25 tahun lalu tugas sejarah dan tugas negara nggak akur. Ini nggak boleh terjadi tugas sejarah dan tugas negara harus akur.

Karena nanti ke depan sejarah yang akan menguji negara gitu lho. Apakah negara bisa melakukan atau nggak. Jadi itu saya bicarakan baik dari aspek ekonomi, aspek geo-ekonomi, aspek geo-politik, aspek geo-strategis.

Saya berbicara 1 setengah jam waktu itu disaksikan beberapa teman tim saya, dan beberapa media.

Sampai satu kesimpulan pasangan calon jangan dijadikan lawan elektoral, yang rugi bangsa Indonesia. Sebagaimana saya yakin Pak Prabowo melihat.

Kami pun kekuatan elektoral yang akan rugi juga, bayangkan kalau dua calon debat, orang bingung apa yang didebatkan ya wong sama kok.

Nggak ada hal teknis, taktis. Debat itu kan bidang politis bukan strategis.

Itu nanti urusan kementerian, urusan mengangkat menteri siapa, pendekatannya seperti ini. Bahkan bukan menteri, itu urusan dirjen dan direktur kementerian seperti apa.

Bukan di level perbedaan teknis dan taktis itu kemudian menentukan perbedaan presiden dan wakil presiden. Menurut saya itu sama saja rumah terbakar, tikus habis ke luar.

Karena siapapun yang menang nanti, kemenangannya pasti akan tipis. Ketika tingkat kepuasan pemerintah Jokowi yang approval ratenya 90 persen maka secara mental, kebatinan, dan psikologis ini akan sulit dipercaya.

Saya tidak mengatakan penerus Pak Jokowi ini harus 90 persen approval ratenya, almost impossible, tapi jangan terlalu jauhlah.

Saya pernah berbicara dengan mantan Presiden Brasil di saat dia bisa mendapatkan 90 persen approval rate di periode kedua. Saya ketemu beliau 2019 diteruskan oleh Dilma Rousseff menteri strategis pembangunan.

Menang si Dilma menggantikan Luiz Inacio Lula, dengan kemenangan tipis. Diendorse oleh Pak Lula. Yang setuju dengan Lula belum tentu semuanya memilih Dilma. Dan di tengah jalan dia dimakzulkan.

Kemudian kekuasaan beralih ke tangan Jair Bolsonaro yang berbeda arah berpikirnya. Hingga akhirnya Lula muncul lagi menjadi presiden Brasil. Artinya ada periode berapa tahun yang hilang. Kita tidak mau momentum sia-sia.

Selama berapa tahun momentum hilang itu berarti tergerus. Tingkat kepuasannya berkurang dan terkuras. Hasilnya dia harus mengulang lagi setelah pengalihan kekuasan ke Bolsonaro.

Indonesia masih belum solid, sama seperti Brasil sumber daya alamnya kaya, tapi sumber daya manusianya pas-pasan.

Dampak multi partai liberal itu mudah sekali dipolarisasi. Nah itu yang saya nggak ingin terjadi di Indonesia.

Melampaui pilpres, tapi berkaitan dengan pilpres sama seperti Anda berangkat dari Bandung ke Jakarta, Anda melampaui rest area lalu berhenti di situ lalu nyampenya kapan. Kira-kira begitu.

Bisakah Mas Budiman mendeskripsikan calon presiden dalam satu kata?

Ya Oke. Mas Anies: Intelektual. Mas Ganjar: Populis. Pak Prabowo: Strategis.

Menurut saya mas Anies intellectual thinking menonjol sedangkan Mas Ganjar populis, dan Pak Prabowo menonjol strategic thinking.

Ketika Pak Jokowi merangkul Pak Prabowo dan Pak Sandi masuk kabinet buat Anda itu surprise atau bagaimana?

Surprise karena setahu saya dalam sejarah demokrasi kita belum pernah terjadi.

Tetapi kemudian memaklumi mengingat polarisasi yang tumbuh dalam dua kali pilpres dan pilkada DKI sekaligus menghadapi pandemi Covid-19 yang luar biasa.

Kalau keinginan Mas Budiman dalam menyatukan tidak tercapai itu bagaimana?
Ya nanti, kita jangan berandai-andai dulu. Masih ada waktu.

Berarti optimistis ya?

Harus optimistis. Saya dari tahun 1996 melawan Orde Baru nekat dan bikin rusuh. Tapi akhirnya nggak ada yang disomasi toh. Karena dulu kami melihat dalam pembangunan bahwa melawan Orde Baru adalah keharusan sejarah.

Itu tugas sejarah hari ini merangkul seluruh unsur bangsa Indonesia. Dulu berlawan tugas sejarah, sekarang berkawan tugas sejarah juga. Kan nggak ada lawan abadi.

Dipersilakan Mas Budiman memberikan closing statement mengenai tahun politik ini?

Pilpres dan pemilu 2024 itu bukan yang biasa-biasa saja. Setelah reformasi ada tiga pilpres yang menurut saya cukup menarik. Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.

Pilpres 2014 menegaskan bahwa sebuah demokrasi itu berjalan dengan baik.

Pilpres 2019 menguji apakah kemenangan Pak Jokowi hanya sebuah keberuntungan sekaligus menunjukkan jalan sejarahnya.

Tapi bila dilihat pilpres 2024 juga dalam kancah dunia sedang bergolak karena sedang terjadi tiga ledakan besar yaitu ledakan virus, ledakan krisis pangan, dan ledakan disrupsi media sosial.

Ledakan besar ini hanya terjadi di awal abad ke-30, dan ledakan itu membuat kekuatan kolonialisme.

Tiga ledakan selalu mengeluarkan ide-ide cemerlang, pilpres 2024 harus menjadi narasi yang futuristik tapi realistis. (Tribun Network/Reynas Abdila)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved