Sosok Inspiratif
Selamat Ulang Tahun ke-51 TGB, Kilas Balik Sang Ulama Membawa Maju NTB
TGB langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat, dan dengan segera ia menjadi sosok yang populer hingga disegani masyarakat yang ada di NTB.
Penulis: Ahmad Wawan Sugandika | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Sejak kepulangannya dari Mesir tahun 1997, TGB Muhammad Zainul Majdi lansung aktif berkeliling melakukan dakwah ke segenap penjuru pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat (NTB).
TGB langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat, dan dengan segera ia menjadi sosok yang populer hingga disegani masyarakat yang ada di NTB.
Direktur TGB Institut, Dr Muhammad Said mengatakan, ada dua modal sosial utama yang dimiliki TGB saat ini.
Di antaranya, sebagai cucu pendiri organisasi Islam Nahdaltul Wathan (NW), dan kepiawaiannya dalam berdakwah.
Baca juga: Efek TGB di Lombok Tengah: Partai Perindo Sampai Kewalahan Layani KTA Kader Baru
"Dua hal itulah kelak, yang membuatnya masyhur disebut Tuan Guru Bajang," ucap Muh.
Said menceritakan itulah awal mula nama TGB melekat dalam diri Muhammad Zainul Majdi.
Tepat pada hari ini, Rabu (31/5/2023), TGB berulang tahun yang ke-51.
Dia meyakini, di usianya yang semakin matang, TGB bukan hanya dikenal sebagai ulama' seperti awal-awal kepulangannya dari Mesir, namun kini ia lebih dikenal sebagai tokoh nasional asal NTB.
Baca juga: TGB Zainul Majdi Menyerukan Agar Umat Islam Saling Memuliakan
"Mula-mula TGB memulai karir politiknya pada tahun 2004 atas ajakan Yusril Ihza Mahendra," ceritanya.
TGB kemudian menjadi anggota DPR RI melalui Partai Bulan Bintang (PBB) periode 2004-2009.
Persahabatan TGB dan Yusril mengingatkan kita pada persahabatan Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid dengan Mohammad Natsir (dua tokoh Masjumi di masa Orde Lama).
"TGB adalah cucu Tuan Guru Zainuddin, sementara Yusril adalah murid kesayangan Natsir," katanya.
Baca juga: Muhammad Rifki Farabi Punya Peluang Sekaligus Tantangan, Harus Jadi Representasi Kelompok Muda
Derap langkahnya sebagai figur ulama dan menjadi seorang politisi, mengejutkan banyak orang.
Bahkan, sempat dahulu langkah TGB tidak disetujui sebagian kalangan.
Namun TGB tetap kukuh dan bertanggung jawab atas pilihannya memasuki dunia politik, sebuah gelanggang baru yang ditempuh dalam perjuangannya mengemban peran ganda.
Meminjam istilah Muhammad Iqbal “men of prayer and the politician”.
TGB mengemban otoritas religius dan otoritas politik secara bersamaan.
Lebih-lebih ketika di usia yang yang masih sangat muda yakni 36 tahun.
TGB berhasil menjadi Gubernur NTB selama dua periode (2008-2013/ 2013-2018).
Kehadiran TGB di panggung politik lokal telah menciptakan sejarah dan tradisi politik baru dalam demokrasi lokal pasca reformasi.
Yakni tampilnya kalangan sipil-pesantren dalam dunia birokrasi.
Sejak tahun 1945 sampai runtuhnya Orde Baru NTB (dulu provinsi Soenda Ketjil) tidak pernah dipimpin oleh orang lokal dari sipil-santri.
Gubernur NTB selama bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka selalu dikirim dari Pusat-Jakarta.
Keterpilihan TGB sebagai Gubernur pada 2008-2013 dan 2013-2018 lalu, menandai beberapa hal.
Pertama kata dia, menandai berakhirnya dominasi kuasa militer dan bangsawan dalam daftar orang nomor satu di NTB.
Kedua, menandai kesuksesan mobilitas politik kaum santri dalam politik lokal.
Ketiga, TGB menjadi tuan guru pertama yang berhasil merebut kursi gubernur dalam sejarah Nusa Tengara Barat.
Dengan latar keilmuan di bidang tafsir Al-Qur’an, TGB sempat diragukan dan dianggap tak memiliki kecakapan birokratif.
"Namun dalam kepemimpinannya, TGB menerapkan prinsip learning by doing," terangnya.
TGB Pelan-pelan mengasah kapasitasnya sebagai birokrat. Sehingga selama dua periode kepemimpinannya, TGB sukses membangun NTB ke arah yang lebih baik.
Selama 2014-2016, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi NTB meningkat menjadi 9,9 persen.
Prestasi ini membuat NTB diganjar predikat pertumbuhan ekonomi terbaik. Bahkan melampaui nasional yang hanya sebesar 4,9 persen.
TGB juga berhasil menurunkan angka pengangguran di NTB hingga 3,32 persen.
Pada 2017 TGB juga meraih penghargaan sebagai salah satu Gubernur terbaik versi Kementerian Dalam Negeri.
Penghargaan itu didasarkan pada penilaian aspek kepemimpinan, kredibilitas dan akseptabilitas dalam rangka menciptakan pemerintahan bersih.
Selain itu, laporan “ACI Lee Kwan Yew School of Publicity”, universitas Singapura merilis, tingkat daya saing NTB naik drastis dari peringkat 26 pada 2015 menjadi 19 pada 2016. Dan masih banyak lagi prestasi TGB selama memimpin NTB.
"Suatu hari di tahun 2016, TGB menyambut kedatangan Presiden Jokowi ke Lombok menghadiri Hari Pers Nasional. Tahun itu kebetulan NTB bertindak sebagai tuan rumah. Dalam pidato sambutannya TGB menyelipkan kritik tajam namun elegan kepada Presiden Jokowi," ungkapnya.
TGB meminta presiden Jokowi untuk menghentikan kebijakan impor beras. dari atas podium TGB mengatakan: “Kami berharap Bapak Presiden, kalau bisa tidak ada impor beras. NTB menghasilkan sekitar 1,3 juta ton beras per tahun”.
"Ternyata di balik sikap dinginnya, TGB menyimpan sikap kritis yang tajam," imbuhnya.
Gaya kepemimpinan TGB tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak intelektualnya selama Rihlal ke Al-Azhar Mesir hingga jenjang doktoral. Al-Azhar telah membentuk nalar keislamannya di jalur “wasatiyyah Islam”.
Selama perkhidmatannya sebagai Gubernur NTB, TGB memperbanyak ruang perjumpaan dengan berbagai kalangan dan lapisan masyarakat.
Bahkan tidak hanya di NTB, tetapi spektrumnya diperluas hingga penjuru-penjuru Indonesia melalui “Dakwah Nusantara”.
TGB berjumpa dengan beragam kalangan dari pelbagai ideologi, kultur, dan agama.
TGB hadir di tengah-tengah komunitas tradisionalis Islam pedesaan, modernis Islam perkotaan, kelompok nasionalis, dan bahkan kelompok Islamis kanan.
"Di dalam banyak perjumpaan itulah, TGB menujukkan visi keislaman dan politik jalan tengahnya yang menjunjung tinggi kebinekaan," sebutnya.
TGB selalu berusaha berada di tengah-tengah dua kutub, mendayung di antara dua gelombang untuk menjaga keseimbangan.
Riwayat TGB dalam politik maupun agama, selalu berada jalan tengah, antara Islam dan nasionalisme, antara tradisi dan modernitas, antara keumatan dan kebinekaan.
TGB terus berselancar menghadapi persoalan-persoalan konkret dalam ruang keindonesiaan, dan mencari titik paling moderat dan maslahat.
"Kini TGB masih terus melangkah menjemput takdir sejarahnya dalam perkhidmatan kebangsaan," demikian Muhammad Said.
Bergabung dengan Grup Telegram TribunLombok.com untuk update informasi terkini: https://t.me/tribunlombok.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.