Opini

Fenomena Pejabat Korupsi

Potensi bagi pejabat untuk melakukan korupsi kerap terjadi atas dasar nafsu dan dorongan pihak lain. Dan unsur pihak ketiga menjadi faktor penentu.

Editor: Sirtupillaili
Dok.KI NTB
Suaeb Qury, Ketua Komisi Informasi NTB 

Oleh: Suaeb Qury
Ketua Komisi Informasi 2021-2023

Apa yang menyebabkan pejebat tersangkut korupsi dan akhir-akhir ini, media dan publik ramai membicarakan korupsi semakin merajalela. Menjadi pejabat,memang godaannya adalah korupsi dan hampir para pejabat yang tersangkut dengan masalah pidana. Dan dari sekian banyak kasus yang terjadi di NTB, kasus korupsi didominasi akibat salah dalam mengambil keputusan dan tergoda uang.

Potensi bagi pejabat untuk melakukan korupsi kerap terjadi atas dasar nafsu dan dorongan pihak lain. Dan unsur pihak ketiga juga menjadi faktor yang dominan atas pengambil keputusan oleh pejabat.

Jika saja, para pejabat negara yang sudah disumpah atas nama jabatan untuk tidak melakukan tindakan diluar kewenangan dan mematuhi aturan yang sudah ada, maka kemungkinan untuk meminimalisir potensi korupsi yang terjadi dilingkungan birokrasi.

Sudah banyak panduan upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK dan bahkan penegak hukum lainnya, bagi para penyelenggara negara yang menjadi rambu-rambu menjauhi korupsi.

Mematuhi dan menjalankan sumpah dan rambu-rambu pencegahan korupsi yang ada di birokrasi, namun kenyataan hanya dilaksanakan pada ruang etis dan serimonial saja. Dan sudah seringkali KPK dan penegak hukum membangun komitmen dan pakta integritas zona bebas korupsi dan WBK.

Apa yang terjadi belakangan ini dan ramai dibicarakan diberbagai media, baik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara tingkat pusat maupun ditingkat daerah. Dan usaha-usaha baik yang dilakukan KPK sebagai lembaga negara anti korupsi, sejatinya menjadi senjata yang ampuh untuk para pejabat menjauhi korupsi.

Begitu juga dengan tugas kepala daerah, sebagai sentral birokrasi yang selalu menjadi obyek dari kepentingan para pihak. Dan dari sekian kasus korupsi di NTB, bukan semata-mata sebuah kelalaian dan atau lemahnya pembinaan dan arahan oleh kepala daerah. Namun, terjadi akibat dari sindrom dan godaan secara pribadi bagi pejabat yang tidak tahan atas godaan.

Siklus korupsi birokrasi dan pejabat bisa terjadi karena mengabaikan fungsi dan tugas utama sebagai penyelenggara negara yang jujur, bersih, taat, akuntabel.

Merujuk teori Singmound Fraud Triangle, ada tiga kata kunci dari penyebab pejabat atau penyelenggara negara melakukan korupsi dan atas dasar yakni; adanya non-shareable financial problem, adanya oppurtunity to commit violation, dan rationalization. Ketiga hal inilah yang mendasari terjadi banyak kasus korupsi.

Bila diamati dari potensi dan alur kasus korupsi, ada tiga penyebab utama orang korupsi, yakni perceived pressure/incentive/motive, perceived,opportunity, dan rationalization.

Secara rinci dan detail, jika dikonteskan pada studi kasus, dibeberapa kejadian korupsi yang melanda pejabat negara.

Pertama ini adalah sesuatu yang memberikan trigger awal seseorang untuk melakukan korupsi. Bisa disebut juga motif awal, bisa berupa tekanan (pressure) atau insentif.

Kata perceived yang berarti “dipersepsikan” menunjukkan bahwa tekanan atau insentif tersebut tidak harus benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan insentif, maka trigger pertama ini telah terpenuhi.

Kedua adanya kesempatan (perceived opportunity) yang dapat terwujud dalam banyak hal. Contoh yang paling sering muncul adalah lemahnya sistem pengawasan.

Kata perceived juga menunjukkan bahwa kesempatan ini juga tidak harus benar-benar riil. Lemahnya sistem pengawasan itu cukup ada dalam persepsi pelaku.

Sampai di titik ini, sebesar apapun tekanan atau godaan yang ada dalam diri seseorang, kalau dia tidak dapat melihat adanya kesempatan, maka tidak akan melakukan korupsi. Dan ketiga adalah rasionalisasi (rationalisasi).

Dari berbagai studi dan menemukan bahwa para pelaku selalu punya rasionalisasi untuk setidaknya menipiskan rasa bersalahnya. Misalnya, “saya melakukan ini karena saya tidak digaji secara layak” atau “keuntungan perusahaan terlalu besar dan tidak dibagi secara adil kepada pegawai.

Banyak para pakar menjelaskan penyebab utama terjadinya korupsi menurut Wolfe dan Hermanson adalah capability atau kemampuan. Seseorang harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bisa melakukan korupsi.

Meskipun seseorang telah mengalami tekanan atau tergoda insentif, punya kesempatan, dan telah memiliki alasan rasional untuk korupsi, tanpa kemampuan yang memadai, korupsi tidak akan terjadi.

Dari berbagai pandangan tantang korupsi dan upaya pemberantasannya, mengapa korupsi tidak maksimal dilawan di negeri ini.

Begitu juga dengan dorongan dan gerakan sosial keagamaan untuk memberantas korupsi di Indonesia, sekian menguat dan memberikan warning kepada penyelenggara negara.

Maka salah satu dari banyak adigium untuk melawan dan menghapus korupsi di Indonesia dengan lahirnya lembaga negara anti RASUA yakni KPK yang sudah maksimal melakukan pendidikan anti korupsi dan pencegahan korupsi di Indonesia. Salah satu dari banyak jalan itu adalah komitmen melawan korusi dan membasminya.

Membasmi dan Melawan

Untuk meyakinkan bahwa ada upaya dalam melawan korupsi dalam diri pejabat negara, maka sangat diperlukan sebuah kemampuan di sini sangat terkait dengan posisi, kecerdasan/kreatifitas, dan kemampuan persuasi.

Tiga hal ini sangat menentukan mampu tidaknya seseorang melakukan korupsi.Dan bilamana seseorang dengan posisi yang rendah, meskipun menyadari adanya kesempatan melakukan korupsi, tetap tidak dapat melakukannya jika terus ada dalam pengawasan atasan yang jujur.

Makin tinggi posisi seseorang, makin tinggi kemampuannya melihat dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi. Begitu juga dengan banyak riset yang menghubungkan antara korupsi dan tingkat pendidikan.

Hal ini sangat wajar karena untuk korupsi, diperlukan kecerdasan dan kreatifitas. Kecerdasan di sini diperlukan untuk melihat peluang, sedangkan kreatifitas diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut dan gabungan keduanya digunakan untuk menutupi perbuatan yang telah dilakukan.

Satu sisi pejabat juga,bisa memaksimalkan Kemampuan persuasi untuk memaksa, menipu, dan menekan orang lain untuk memuluskan rencananya.

Dari rekam cara dan jejak korupsi yang tergambar diaras,maka salah satu dari banyak cara untuk menghindar dari godaan dan penyakit yang bernama nafsu kekuasan dan penguasaan atas kebijakan yang berdampak pada tindakan mengambil hak atau merampas gak orang lain yakni korupsi.

Maka, jalan yang harus dilawan adalah memulai dari seorang pejabat atau bawahannya, sikap dan prilaku sederhana, mengintai dan memantau secara terbuka prilaku diri dan lingkungan birokrasi.

Jika kekuatan kontrol birokrasi atas diri dan lingkungan birokrasi yang tidak transparan, akuntabel dan efesiensi, maka jalan yang mesti dibangun adalah melibatkan pihak luar untuk mengawasi segala aspek kebijakan atau mengumumkan kebijakan amdan atau program yang sedang berjalan atau yang akan direncanakan.

Memang membasmi dan melawan korupsi sangatlah sulit, tetapi kalau tidak dimulai hari ini, maka riwat dan jejak para pejabat yang akan muncul diberbagai publik sebagai koruptor tidak akan memberikan efek jera bagi yang lainya.

Dan itulah gambaran kecil dari semakin menguatnya korupsi yang terjadi di negeri ini. Dan gerakan bersama untuk membaswi dan melawan korupsi, jika tidak dimulai kapan lagi dari diri dan lingkungan kerja dan keluarga.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved