Meneladani Nilai Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Pahlawan Nasional asal NTB

Dia memiliki nama kecil Muhammad Saggaf, lahir pada hari Rabu, 18 Rabi’ul Awal 1316 H, bertepatan dengan 20 April 1908.

FOTO ISTIMEWA
Wartawan TribunLombok.com Ahmad Wawan Sugandika sedang berziarah di makam TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. 

Kondisi ekonomi keluarga Abdul Madjid yang cukup baik membuat Zainuddin termasuk beruntung bisa mengenyam pendidikan.

Maulana Syaikh menjadi satu dari 845 anak yang bisa bersekolah di seluruh Lombok saat itu.

Tahun 1934, Muhammad Zainuddin Muda baru berusia 26 tahun. Pada usia tersebut dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Madrasah as-Shaulatiyyah Makkah, salah satu madrasah tertua di dunia.

Tidak ada kata istirahat atau jeda bagi Muhammad Zainuddin muda. Saat pulang ke Lombok ia langsung mendirikan Pesantren al-Mujahidin memanfaatkan bangunan musola kecil di dekat kediamannya di Bermi, Pancor Lombok Timur.

Penamaan Pesantren al-Mujahidin yang berarti "Para Pejuang" ini bukan tidak disengaja, tetapi Muhammad Zainuddin sebagai intelektual muda terdidik, melihat kondisi bangsanya.

Beliau meyakini pendidikan adalah instrumen paling efektif untuk mengangkat derajat kaumnya dan membebaskannya dari kebodohan.

Musholla Al-Mujahidin menjadi saksi sejarah langkah awal beliau merintis perjuangannya, dengan jumlah santri yang bisa dihitung jari.
Pesantren Al-Mujahidin ini beliau jadikan sebagai lokomotif pencetak kader muda yang religius, tapi juga nasionalis yang selanjutnya melahirkan para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda dan Jepang saat itu di Pulau Lombok.

"Nama pesantren Al-Mujahidin ini berarti Para Pejuang. Dan nama pesantren ini selanjutnya diabadikan menjadi nama Masjid Agung Al-Mujahidin di Kota Selong, yang berlokasi tepat di depan Gedung Juang Lombok Timur," kata Halqi menerangkan.

Tahun 1937, Zainuddin muda mempelopori pendidikan Islam modern, dari pesantren Al-Mujahidin yang kecil menjadi cikal bakal untuk menciptakan dampak yang lebih luas.

Sistem pesantren dengan model halaqoh (duduk bersila), bertransformasi menjadi madrasah dengan sistem klasikal (ruang kelas dengan jenjang pendidikan).

"Madrasah itu dinamakan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), atau yang berarti Kebangkitan atau Pergerakan Tanah Air dan Agama Islam," kata Halqi.

Dari sini kita memahami bahwa Zainuddin muda tidak pernah membenturkan antara bangsa dan agama. Bahkan sebelum bangsa Indonesia ini lahir sekalipun.

Bagi beliau, bangsa dan agama menjadi satu kesatuan yang harus diperjuangkan dan dipertahankan, bukan untuk dibenturkan.

Kehadiran Madrasah NWDI ini mulai menjadi fenomenal dan viral kala itu.

Dalam waktu dua tahun pertama, santrinya sudah mencapai 200-an orang.
"Pelan tapi pasti, Zainuddin muda ingat pesan gurunya ketika menimba ilmu di Makkah, bahwa dalam berjuang harus tetap yakin, ikhlas, istiqomah, dan sabar" kata Halqi.

"Desa Pancor endekku lupaq, budi Bermi ngeno juaq, tao'ku ngaji belajar, bilang jelo atengku sabar" demikian kutipan pidato Maulana Syaikh di Pancor. (*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved