Berita Bima

SE Wali Kota Bima Soal Joki Cilik Bertentangan dengan UU Perlindungan Anak

Budayawan mengkritik surat edaran pemerintah Kota Bima terkait pengaturan joki cilik. Aturan itu dianggap tidak merujuk ke perundang-undangan berlaku.

Penulis: Atina | Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/SIRTUPILLAILI
Para joki cilik memacu kudanya untuk menjadi yang terdepan dalam pacuan kuda di Kabupaten Dompu. Foto ini diambil pada bulan April 2019 silam. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina

TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Surat Edaran (SE) Wali Kota Bima tentang pelibatan anak sebagai joki cilik pada pacuan kuda menuai sorotan.

SE tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, yang harusnya menjadi rujukan pemerintah daerah dalam membuat regulasi terkait joki cilik. 

"SE wali kota ini versi joki cilik yang dilegalkan pemerintah daerah," sentil budayawan Bima, Fahru Rizki, ketika mengetahui isi SE yang dikeluarkan Pemkot Bima, Rabu (20/7/2022).

Fahru mengungkap, pada poin ketiga SE yang mengatur pengelompokan usia anak untuk menjadi joki cilik, berseberangan dengan UU perlindungan anak.

Baca juga: Joki Cilik Disebut Bukan Praktek Kerja Karena Tak Sesuai Standar Upah Minimum

"Percuma. Tidak ada poin pasti untuk mengubah penggunaan joki anak," katanya.

Seharusnya, pemerintah daerah tidak membuat regulasi yang bertentangan dengan perangkat aturan lebih tinggi.

Karena dalam UU perlindungan anak jelas mencantumkan, jika batas usia anak adalah di bawah 18 tahun.

"Seharusnya pemerintah daerah berpatokan pada UU perlindungan anak bukan pada standar lokal," tegasnya.

Para joki cilik dipacu untuk menjadi yang terdepan dalam pacuan kuda di Kabupaten Dompu. Foto ini diambil pada bulan April 2019 silam.
Para joki cilik dipacu untuk menjadi yang terdepan dalam pacuan kuda di Kabupaten Dompu. Foto ini diambil pada bulan April 2019 silam. (TRIBUNLOMBOK.COM/SIRTUPILLAILI)

Fahru juga menanggapi pernyataan kepala DPPPA Kota Bima, yang menyatakan jika penggunaan joki anak sebuah tradisi.

Sebagai seorang budayawan ia menegaskan, tidak ada satu pun tradisi Bima yang menggunakan anak kecil untuk menunggangi kuda dalam hal kepentingan pacuan.

"Joki cilik itu hanya budaya asimilasi. Sekali lagi saya katakan, bukan tradisi," tegasnya lagi.

Baca juga: Terbitkan Surat Edaran, Bupati Bima Larang Penggunaan Joki Cilik di Pacuan Kuda

Fahru menyayangkan sikap Pemerintah Kota Bima yang seolah tidak jelas.

Apalagi jika dikaitkan dengan status Kota Layak Anak (KLA), maka menurut Fahru masih jauh panggang dari api.

"Sekarang setiap sudut lampu merah mudah kita temui anak-anak mengemis, dengan berkedok jualan kacang," ungkapnya.

Apalagi jika berkaitan dengan pendidikan anak-anak khususnya joki cilik ini, banyak yang belum bisa membaca.

"Apa tolak ukur sehingga Kota Bima menyandang KLA?" sentilnya lagi.

Tidak hanya itu, Fahru bahkan tidak berhenti memahami seorang birokrat di Pemerintahan Kota Bima yang menyatakan jika penggunaan anak pada joki cilik bukan praktik mempekerjakan anak.

Sementara jelas, ada transaksi upah antara pemilik kuda dan si joki anak.

Artinya, ada kegiatan dagang yang terjadi.

"Aduh...masa seorang birokrat tidak paham," pungkasnya.

Sebelumnya, Wali Kota Bima menandatangani SE tentang penggunaan joki cilik.

Sayangnya dalam SE tersebut tidak melarang penggunaan anak sebagai joki cilik, tapi mengatur usia anak yang bisa menjadi joki.

Dalam klasifikasi usia pada poin kedua SE disebutkan, yang menjadi joki cilik pada kuda kecil berusia 10 - 14 tahun dan pada kuda besar berusia 15 - 19 tahun.

Kepada TribunLombok.com, Kepala DPPPA Kota Bima Syahruddin bahkan menyebut, jika praktik joki cilik bukan bagian dari mempekerjakan anak, sebagaimana yang dilarang dalam UU Perlindungan Anak.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved