Menjawab Isu Kesehatan Jiwa, Yakkum Hadirkan Sarasehan Bersama Tokoh Lintas Agama di Lombok

Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa bersama Tokoh Lintas Agama sendiri dihadirkan Yakkum bersama Black Dog Institute dan Emotional Health For All di Lombok.

Penulis: Jimmy Sucipto | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Istimewa/Aditya
Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa Bersama Tokoh Lintas Agama, Hotel Holiday Resort Lombok, Jumat (3/6/2022). 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Jimmy Sucipto 

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Permasalahan kesehatan jiwa yang berujung bunuh diri di Indonesia kerap kali dipandang sebelah mata.

Berbagai efek domino dapat diciptakan akibat bunuh diri, yang terkadang tidak dirasakan oleh orang sekitar maupun pelaku bunuh diri.

“Sudah bukan waktunya problem kesehatan jiwa dipandang sebagai aib yang terus disembunyikan, tetapi menjadi masalah kemanusiaan yang perlu segera ditangani karena situasinya darurat,” imbau para pemimpin agama yang hadir dalam Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa bersama Tokoh Lintas Agama.

Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa bersama Tokoh Lintas Agama sendiri dihadirkan Yakkum bersama Black Dog Institute dan Emotional Health For All di Lombok, 2-3 Juni 2022.

Bertujuan untuk memperlihatkan keberpihakan mereka pada kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri serta pentingnya mencari dan menyediakan dukungan yang tepat bagi orang dengan masalah kesehatan jiwa.

Baca juga: Dua Pelaku Pembegalan Amaq Sinta Diserahkan ke Kejari Lombok Tengah

Sandersan Onie, peneliti dari Black Dog Institute, memaparkan dampak masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri.

Indonesia mengalami kerugian kurang lebih Rp 582 Triliun (setara dengan empat persen GDP) setiap tahunnya karena masalah kesehatan jiwa yang tidak tertangani dengan baik.

Lebih lanjut Sandersan menyampaikan dampak lain yaitu penggunaan obat-obat terlarang (narkotika) dan tumbuh kembang anak-anak yang memiliki masalah di sekolah karena dibesarkan oleh ibu dengan masalah depresi kronis tanpa penanganan yang memadai. 

Di Indonesia, Direktur Kesehatan Mental dari Kementerian Kesehatan mencatat bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian tertinggi kedua bagi individu di usia remaja akhir. 

Lebih lanjut, WHO mencatat bahwa angka yang dilaporkan di Indonesia jauh lebih rendah daripada jumlah yang sebenarnya. 

Lebih dari itu, percobaan bunuh diri yang dilakukan dapat 25-30 kali lebih banyak dari kasus bunuh diri yang terjadi. 

Selain itu, untuk setiap kematian karena bunuh diri, terdapat paling tidak 135 orang yang terkena dampaknya dalam bentuk trauma mendalam bagi orang terdekat, kehilangan asuhan atau pencari nafkah, kesedihan berkepanjangan, dan berpotensi menjadi ide bunuh diri berikutnya. 

Baca juga: Kisah Muhidin Jatuh Bangun Rintis Usaha Bakso Kopang, Awalnya hanya Bantu Orang Lain

Ini adalah sebuah fenomena yang disebut sebagai penularan bunuh diri, di mana individu yang pernah mendengar kasus bunuh diri di sekitarnya memiliki kemungkinan lebih besar melakukan tindakan bunuh diri juga. 

Jika terjadi pada usia remaja, masalah kesehatan jiwa dapat berlanjut hingga dewasa, dan berpengaruh pada kualitas hidup mereka serta mempengaruhi kualitas hidup generasi keturunan berikutnya. 

Banyaknya jumlah orang yang mengalami depresi dan angka kasus bunuh diri yang semakin meningkat selama pandemi ini tentu merupakan kondisi yang memprihatinkan. 

Ini menunjukkan betapa luasnya masalah ini. Namun, yang jauh lebih memprihatinkan adalah jika masyarakat tidak merespon dengan mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kasih sayang dan keberpihakan pada mereka yang berhadapan dengan depresi dan pemikiran bunuh diri. 

Karena berbagai stigma keagamaan di Indonesia yang terkait dengan bunuh diri, banyak individu yang tidak sadar ketika mengalami depresi, tidak terbuka untuk berbicara tentang masalah yang dialami atau segan untuk mencari bantuan.

Jika kita ingin sungguh-sungguh mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang kuat, maka masalah -masalah kesehatan jiwa tersebut perlu segera disikapi, tandas Sandersan Onie.

Edduwar Idul Riyadi dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Ditjen P2MKJN) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengingatkan bahwa stigma dan diskriminasi pada orang dengan masalah kejiwaan adalah salah satu tantangan terbesar yang harus disikapi.

Juga para pemimpin agama punya peran utama untuk mengurangi stigma terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan.

Baca juga: Pengadilan Agama Selong Tolak Dispensasi Kawin Anak Usia 16 dan 17 Tahun

“Di Nahdlatul Ulama, kami sudah memutuskan dalam Muktamar PBNU bahwa tidak lagi menyebut Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa dengan Majnun (orang gila) namun kami mengganti dengan Muqtala (Orang Yang Sedang Dalam Cobaan),” Sarmidi, Katib Syuriyah PBNU menyampaikan dalam sarasehan ini. 

Statement tersebut diperkuat dengan statement I Wayan Sianto, Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat.

“Masalah Kesehatan Jiwa bukanlah hal yang memalukan, lingkungan dan keluarga berperan untuk mendampingi orang dengan masalah kesehatan jiwa, karena keluarga adalah benteng,” kata Sianto.

Adapun di Komisi Keluarga Waligereja Indonesia, mereka memiliki panduan bagi keluarga untuk mendampingi disabilitas.

Ada perubahan paradigma dimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa.

“Saat ini Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan,” Y. Aristanto, Komisi Waligereja Indonesia menambahkan.

Sarasehan ini bertujuan untuk mempertemukan para pemimpin dan tokoh agama untuk merefleksikan sikap dan pandangan mereka terhadap masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri. 

Selain itu menyadari peran kunci pemimpin agama dalam mencari solusi komprehensif bagi masalah kesehatan jiwa.

Pertemuan ini juga dimaksudkan untuk menyusun rangkaian rekomendasi dan seruan pada berbagai pihak yang termaktub dalam Deklarasi Nasional Tokoh dan Pemimpin Agama untuk Kesehatan Jiwa dengan memanfaatkan momentum presidensi Indonesia untuk G20 tahun 2022. 

Sebagai salah satu negara dengan populasi masyarakat yang berbasis iman dan plural terbesar di dunia, seruan para pemimpin dan tokoh agama di Indonesia untuk mendukung kesehatan jiwa dan upaya-upaya pencegahan bunuh diri.

“Diharapkan kegiatan ini menjadi inspirasi dan gerakan yang lebih luas di seluruh dunia,” imbuh Arshinta, Direktur Pembangunan Kesehatan Masyarakat dan Kemanusiaan YAKKUM.

“Sekaranglah waktunya, ketika agama diberikan bagian penting dalam Kesehatan Jiwa, tokoh agama harus mempelopori pengurangan stigma terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa,” menurut I Nyoman Suarthanu, Ketua Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Bagian Kesehatan.

“Saat ajaran agama mampu mendorong keterbukaan dan berani mengakui kerentanan maka itulah awal pemulihan”, ungkap Ary Mardi Wibowo dari Jakarta Praise Church Community. 

“Selama ini, Agama sering kali hanya dikaitkan dengan ritual, dengan Ibadah. Sedangkan agama seharusnya mengakomodasi semua hal, untuk memanusiakan manusia. Reinterpretasi agama, perubahan struktural (seperti kebijakan dan layanan) dan penguatan budaya lokal adalah bagian dari rekomendasi kami”, Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religions for Peace) menambahkan. 

Selaras dengan pandangan tersebut, Jacklevyn Manuputty, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menekankan bahwa lembaga-lembaga keagamaan lah yang justru harus menjadi sasaran pertama dari rekomendasi dan deklarasi ini sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Irmansyah, menggaris bawahi pentingnya data angka bunuh diri dan berbagai pihak berkolaborasi dalam pencegahan, penanganan dan pemulihan masalah kesehatan dan bunuh diri.

Dan dengan berbagai seruan aksi mencegah bunuh diri melalui kolaborasi keimanan dengan tokoh-tokoh agama di atas, diharapkan mampu menjawab permasalahan bunuh diri di Indonesia.

Adapun beberapa organisasi keagamaan yang hadir di Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa bersama Tokoh Lintas Agama, Lombok Barat, NTB Jumat (3/6/2022) di Hotel Holiday Resort.

Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh KH Miftahul Huda; Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang diwakili oleh Pdt Jackelyn Manuputty dan Pdt Ary Mardi Wibowo dari Jakarta Praise Church Community; Komisi Waligereja Indonesia yang diwakili oleh Rm. Y. Aristanto HS, MSF; Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang diwakili oleh KH Sarmidi Husna; Parisada Hindu Darma Indonesia yang diwakili oleh drg. I Nyoman Suarthanu, MAP; Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) yang diwakili oleh I Wayan Sianto; International Center for Religions and Peace yang diwakili oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved