Berita Mataram
Berdagang Gelang Hampir 40 Tahun di Terminal Mandalika, Sahidan Selalu Bersyukur
Sahidan (64) berjualan gelang, tasbih hingga gantungan kunci. Dia menunggu para membeli di antara jejeran bus yang mengantre.
Penulis: Jimmy Sucipto | Editor: Dion DB Putra
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Jimmy Sucipto
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Di sela hiruk pikuk arus mudik di Terminal Mandalika Mataram, terdapat seorang lansia yang setia mengais rezeki.
Sahidan (64) berjualan gelang, tasbih hingga gantungan kunci. Dia menunggu para membeli di antara jejeran bus yang mengantre.
Baca juga: Tren Mudik Melalui Terminal Bus Mandalika Mulai Melandai Sejak Sabtu 30 April 2022
Baca juga: Jumlah Pemudik via Pelabuhan Lembar Melonjak Tahun Ini, Truk Barang Dapat Antrean Kedua
Saat ditemui TribunLombok.com, Sabtu (30/4/2022), Sahidan mengakui ia sudah berjualan di Terminal Bus Mandalika Mataram sejak tahu 1985 silam.
Artinya hampir 40 tahun dia mencari nafkah di fasilitas umum tersebut.
Rumah Sahidan di Turida, Mataram. Letaknya memang tidak jauh dari Terminal Bus Mandalika Mataram.
Ojek yang mengantarnya untuk pulang dan pergi dibayar sebesar Rp 8 ribu.
Saban hari ojek mengantar dia beserta keranjang dagangannya ke Terminal Bus Mandalika Mataram.
Sahidan berjualan mulai pukul 09.00 hingga 15:00 WITA atau sampai operasional bus berhenti pada hari itu.
Barang yang ia jual seperti gelang, tasbih dan gantungan kunci bervariasi harganya.
"Gelang Rp 5 ribu, gantungan kunci Rp 5 ribu, dan tasbih Rp 10 ribu," kata Sahidan sambil menunjuk jualannya.
Onak dan duri menyertai perjalanannya. Jualanan yang pasarkan tidak selalu laku.
"Kalau tidak laku ya kita coba lagi besok, siapa tahu besok bisa beruntung," tambahnya.
Namun, untuk momentum arus mudik 2022 ini tidak terlalu mengecewakan baginya.
"Kemarin dapat jualan Rp 90 ribu, hari ini kalau tidak salah Rp 200 ribu," bebernya.
Dia pun punya kiat lain yaitu menukar dagangannya.
"Kalau tidak laku gelang ini, saya ganti dengan kaca mata," ujarnya.
Sahidan mengaku dulu lebih ramai pembelinya dibanding sekarang. Namun, ia selalu bersyukur atas rezeki yang dia peroleh setiap hari, dan dia tidak pernah merasa kekurangan.
"Saya merasa sudah sangat cukup, dan masih mampu memberi keluarga makan di rumah," demikian Sahidan.
(*)