EKSPEDISI TAMBORA 1951
Mendaki Lewat Kebun Kopi Tambora, Dicegat Ribuan Pacet Penghisap Darah
Pendakian ekspedisi Djawatan Gunung Api dimulai dari Tambora Estate, perkebunan kopi di lereng utara Gunung Tambora.
Penulis: krisnasumarga | Editor: krisnasumarga
Pagi hari berikutnya, pendakian berlanjut mulai pukul 08.00. Seperti rute sebelumnya, jalur yang dihadapi sangat berat. Hutan rapat, dan nyaris ulit melihat langit terang. Jalur yang mereka lalui ada di bawah rerimbunan tanaman.
Sekira pukul 12.00, rombongan berhenti di sebuah pematang rata untuk istirahat makan minum. Setelah istirahat 1,5 jam, perjalanan berlanjut menyisir jurang, menapaki punggungan lereng, dan perlahan vegetasi semakin terbuka.
Tanaman rotan semakin sedikit, pohon besar semakin jarang, dan pacet juga menghilang. Jelang sore mereka tiba di pematang yang ditumbuhi alang-alang, langit mulai terlihat. Puncak utara Tambora terlihat dari lokasi ini.
Tapi hanya sebentar karena kabut kemudian menutup rapat puncak gunung. Hawa mulai menusuk kulit, dan menurut sejumlah pekerja, di lokasi itu yang ada tiga pohon cemara besar, WA Petroeschvsky mendirikan bivak ketiga.
Namun karena baru sekira pukul 15.00, mereka tidak mendirikan bivak di lokasi ini. Tim bergerak naik terus di sisa waktu sebelum hari gelap, supaya memperoleh tempat bivak yang bagus dan posisi semakin dekat ke puncak.
Sayang, hujan turun setelah rombongan berjalan sekira 45 menit. Terpaksa mencari pematang datar dan mendirikan bivak untuk bermalam. Titik itu ada di ketinggian 1.520 meter di atas permukaan laut. Tekanan udara 630 mm, suhu udara berkisar 16 derajat Celcius.
Hari itu, mereka berjalan kaki mendaki sekira 7,5 jam dikurangi 1,5 jam istirahat siang. Semua anggota rombongan masih bersemangat, dan berharap keesokan harinya mencapai titik bivak terakhir sebelum puncak.
Hari berganti, 26 April 1951 menjadi hari penting bagi ekspedisi Tambora. Dari bivak III, rombongan berangkat mulai pukul 07.00. Jalurnya penuh tanaman alang-alang dan glagah, dan satu jenis tanaman “penyiksa” yang disebut “meladi”.
Meladi ini memiliki daun yang jika tersentuh kulit akan menimbulkan efek pedih, gatal, sangat sakit. Daun tanaman ini berbulu tajam dan bisa menembus kain baju, kaus, atau celana tipis jika menyenggol daun ini.
Tanaman meladi ada dua jenis. Satu yang daunnya lebar dan satu lagi berdaun kecil. Meladi daun lebar sangat kuat racunnya. Bagi para perintis jalan warga setempat, tanaman ini sudah mereka kenal baik. Jadi mereka hapal apa yang harus dilakukan jika menemui rumpun tanaman ini.
Setelah merasa melewati rute berat yang memiliki ranjau tanaman meladi, mereka tiba di tegalan meladi yang sangat subur. Tanaman lain tidak ada. Jadi sepanjang mata memandang, kiri kanan, semak belukar meladi menghadang rombongan.

Menembus Ranjau Racun Maladi
Semua berhenti, termasuk para perintis jalan. Seolah mereka kehilangan akal, seperti tak sanggup lagi menembusnya. Ujian bertubi-tubi, dari hadangan lintah yang brkerumun seperti semut, hutan rotan berduri, dan kini menemui tembok meladi.
Adnawijaya melaporkan, sungguh pertahanan Tambora memang amat sangat kuatnya. “Tegal meladi jang termasjhur djahatnya, melumpuhkan petundjuk dan perintis sehingga bertekuk lutut,” tulis Adnawijaya.
Mendadak kabut datang dan turun hujan lebat. Sebagian lantas mengenakan baju karet, dan tiba-tiba terlintaslah ide cemerlang. Chatib dan Rukman maju membuka jalan, menggempur tegal meladi yang rapat dan terbukalah jalan berikutnya.