Madrasah Ditutup Kolonial, Adik TGKH Muhammad Zainuddin Gugur saat Menyerang Markas NICA
Pahlawan nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Keberhasilan mendirikan madrasah NWDI kemudian mengilhami pendirian madrasah serupa khusus bagi kaum perempuan, yakni Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah (NBDI), 21 April 1943 atau 15 Rabiul Akhir 1362 Hijriyah.
Uniknya pendirian NBDI bertepatan dengan perayaan Hari Kartini, sebagai tonggak kebangkitan kaum perempuan di Indonesia.
Abdul Fattah dkk, dalam buku ‘Dari Nahdlatul Wathan untuk Indonesia’ juga menyebut, pendirian madrasah NWDI dan NBDI bukan sekedar untuk belajar agama.
Tetapi juga sebagai basis awal dan pusat perjuangan melawan penjajah Belanda maupun Jepang.
“Di tengah kuatnya tekanan pemerintah kolonial, madrasah digunakan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat perjuangan, serta sikap patriotisme dan pantang mundur menghadapi perlakuan pemerintah kolonial.”
Karena itu, keberadaan madrasah NWDI dan NBDI yang didirikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kerap dipersoalkan pemerinah kolonial Belanda maupun Jepang.
Bahkan dua madrasah tersebut sempat ditutup di masa penjajahan Jepang.
Kolonial Jepang menilai pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris di madrasah NWDI dapat menjadi kunci untuk mengetahui kelemahan pihak kolonial.
Selain itu, Jepang juga menganggap madrasah dijadikan tempat menyusun strategi dan taktik melawan kolonial.
Sehingga Jepang meminta pelajaran kedua bahasa tersebut dihapuskan, dan melakukan pengawasan yang ketat di madrasah.
Tapi TGKH Muhammad Zainuddin menolak.
Baca juga: Sepak Terjang Pahlawan Nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Pendiri Pesantren Al-Mujahidin
Ia tetap mempertahankan pelajaran bahasa Arab dan Inggris dengan asalan bahasa Arab adalah bahas Alquran, dan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia.
Madrasah juga dijadikan tempat mendidik calon penghulu dan imam yang berfungsi mengurus peribadatan dan perkawinan umat Islam.
Mendengar penjelasan itu, pemerintah kolonial Jepang mengirim laporan ke atasannya di Singaraja Bali.
Tidak lama kemudian, terbit surat keputusan bahwa NWDI diberikan tetap buka dengan syarat nama madrasah diubah menjadi sekolah penghulu dan imam.