Perdagangan Orang di NTB
Tekong Kongkalikong dengan Oknum Petugas Camat hingga Dukcapil
Mereka diberangkatkan dengan dokumen palsu. Usia dan alamat diubah jaringan tekong dan agen. Mereka tidak dikirim ke negara tujuan yang dijanjikan
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK UTARA - Sri Rabitah dan Juliani, pekerja migran asal Lombok Utara juga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Juliani dikirim menjadi pekerja migran ke Timur Tengah saat masih berusia 14 tahun.
Mereka juga diberangkatkan dengan dokumen palsu. Usia dan alamat diubah jaringan tekong dan agen. Mereka tidak dikirim ke negara tujuan yang dijanjikan.
Kasus Juliani merupakan perkara TPPO pertama yang masuk meja persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, tahun 2018 silam.
Dalam kasus ini, Ombudsman NTB menemukan fakta identitas kedua korban dipalsukan.
Terdapat penyimpangan prosedur penerbitan KTP dan Kartu Keluarga (KK), oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lombok Barat tahun 2014.
Di Lombok Utara mereka sudah melakukan perekaman e-KTP, tapi terbit identitas baru yang dikeluarkan Kabupaten Lomok Barat.
”Temuan kami, seolah-olah Rabitah lahir dan besar di Lombok Barat, padahal tidak sama sekali,” ungkap Arya Wiguna, Asisten Bidang Penyelesaian Laporan Ombudsman NTB, Senin (22/3/2021).
Dalam data kependudukan Kabupaten Lombok Utara, Rabitah lahir di Desa Sesait.
Sedangkan dalam KTP yang dipakai berangkat kerja, Rabitah lahir 20 Januari 1985 di Desa Sesela, Lombok Barat. Demikian juga dengan Juliani.
Padahal keduanya tidak pernah pindah rumah. Mereka tetap tinggal di Lombok Utara.
”KTP yang dikeluarkan ini adalah KTP manual, bukan elektronik,” kata Arya.
Kedua korban tidak pernah mengajukan untuk pindah alamat domisili. Juga tidak pernah mengurus perubahan identitas.
Semua itu diubah oleh tekong yang bekerja sama dengan oknum-oknum pegawai mulai dari desa, kecamatan, hingga oknum dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.
Karena pemeriksaan di Lombok Utara ketat, sindikat ini mengurusnya di Lombok Barat.
Daerah yang masih lemah pemeriksaan administrasi kependudukannya akan dimanfaatkan para tekong.
”Si tekong ini sudah tahu celah daerah mana yang bisa dia masuki,” ungkap Arya.
Meski telah menggunakan sistem elektronik, mereka tetap mencari celah untuk meloloskan calon pekerja migran rekrutannya.
”Selalu ada celah-celah untuk manipulasi dan pemalsuan identitas untuk bisa diberangkatkan ke luar negeri,” ungkapnya.
Dalam kasus Rabitah, Ombudsman mencatat, si tekong bernama Ijtihad mengurus administrasi kependudukan sampai tingkat kecamatan dan bisa mendapatkan KTP untuk berangkat ke luar negari.
Nama Rabitah pernah membuat heboh pemerintah Indonesia.
Tahun 2017, ginjal Sri Rabitah diduga hilang ketika bekerja di Qatar, Timur Tengah.
Baca juga: Termakan Tipu Daya Tekong, Korban TPPO Kantongi Paspor ‘Kosong’
---
Serupa dengan kasus Rinjani, Husniyah, dan Rabitah, Juni 2019, Polda NTB merilis kasus TPPO dengan korban UH (13) dan kakaknya SH (20).
Mereka dijanjikan akan dikirim ke Abu Dhabi dengan iming-imingi gaji Rp 6 juta per bulan.
Dalam kasus ini, Polda NTB membekuk lima orang tersangka kasus TPPO yang memberangkatkan 19 orang korban ke Timur Tengah, April 2019.
Dua dari lima tersangka mengirim anak di bawah umur. Mereka adalah Baiq Asmin (48), warga Kuripan Lombok Barat dan Baiq Hafizahara alias Evi, warga Lombok yang menetap di Malang, Jawa Timur.
Berdasarkan keterangan Baiq Asmin kepada polisi, sebelum memberangkatkan UH dan SH ke negara tujuan, dia membuatkan paspor, KTP, hingga medical check up. Seluruh biaya administrasi tersebut ditangung Baiq Asmin.
Dalam kasus TPPO lain, seorang perekrut biasanya mendapatkan Rp 14 juta per kepala.
Seperti AB (41), tersangka kasus TPPO asal Desa Anjani, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. AB mengaku telah merekrut tiga orang dengan tujuan Dubai dan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kenyataanya korban dikirim ke Turki.
Untuk merekrut satu orang, dia mengaku mendapatkan uang Rp 14 juta.
Uang tersebut dipakai untuk biaya tiket, cek kesehatan, pembuatan paspor, dan uang saku calon pekerja yang direkrut.
Dia mendapatkan untung sedikit karena biaya pemberangkatan tidak mudah.
Misalnya, ongkos membuat paspor saja bisa mencapai Rp 2,6 juta. Kemudian calon pekerja diberikan uang saku Rp 2,5 juta.
Baca juga: Berangkat Pakai Identitas Palsu, Korban TPPO Dikirim ke Negara Konflik
Sementara dalam kasus UH, polisi menemukan Baiq Asmin memalsukan identitas korban yang masih anak-anak dengan menambah usianya.
Pelaku membuatkan korban KTP manual, bukan KTP elektronik.
Jalur pemberangkatan UH dan SH sama dengan Rinjani dan Husniyah.
Keduanya diberangkatkan dari Bandara Internasional Lombok menuju Batam, tahun 2015 silam.
Kemudian ditampung selama beberap hari di Batam.
Dari Batam, korban diberangkatkan menuju Malaysia dengan mengunakan kapal feri, lalu ditampung selama beberapa hari di Malaysia sebelum diberangkatkan ke Timur Tengah.
Kenyataannya, kedua korban tidak dipekerjakan di Abu Dhabi, tapi korban dikirim ke Damaskus, Suriah.
Selama berada di Suriah, janji gaji sebesar Rp 6 juta hanya tipu daya agen. Kedua korban hanya diberikan gaji Rp 2,3 juta per bulan.
Korban juga mendapatkan kekerasan fisik dan tidak dibebaskan untuk berkomunikasi dengan siapa pun termasuk keluarganya.
Kasus ini terungkap setelah belasan korban melaporkan apa yang mereka alami, termasuk UH dan SH.
SH, warga Lingsar, Lombok Barat enggan ditemui untuk mengungkap persoalan itu. Dia pun menghindar untuk diwawancara.
Seperti kebanyakan korban, mereka enggan membuka kembali kasus itu setelah pulang ke kampung halaman.
(*)