Serikat Pekerja di NTB Tidak Turun Demo Tolak UU Cipta Kerja, Pilih Jalur 'Judicial Review'
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) NTB memilih tidak turun unjuk rasa menyikapi UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM -Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) NTB memilih tidak turun unjuk rasa menyikapi UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Secara nasional kami mungkin lebih pada persiapan untuk judicial review.
"Untuk di daerah saya mengimbau kawan-kawan untuk duduk bareng dululah, sembari menunggu instruksi dari pusat," kata Pimpinan KSPI NTB Lalu Wira Sakti, Rabu (14/10).
KSPI, kata Wira, memilih untuk lebih banyak memberikan masukan dan perbaikan langsung pada aturan turunan UU Omnibus Law (judicial review), seperti Peraturan Pemerintah (PP).
Karena itu, KSPI di NTB sejauh ini belum turun berunjuk rasa bersama para mahasiswa dan elemen masyarakat yang lain.
Di samping itu, pandemi Covid-19 yang masih melanda juga menjadi salah satu pertimbangan mereka tidak turun.
"Kawan-kawan saya banyak di-PHK, kondisi ekonomi mereka bagaimana, kemudian akan kita giring untuk aksi?,” ujarnya.
Baca juga: Begini Sikap Gubernur NTB Saat Didesak Massa untuk Menolak UU Omnibus Law
”Kalau aksinya damai, kalau terjadi kerusuhan, ada yang digebukin. Saya kan harus bertanggugjawab," tambahnya.
Meski demikian bukan berarti KSPI tidak mendukung upaya-upaya para pihak yang melakukan aksi unjuk rasa.
KSPI di beberapa daerah turun melakukan aksi. Tapi di NTB kondisinya sedikit berbeda.
Sebab NTB tidak memiliki banyak pabrik yang mempekerjakan buruh.
”Di sini lebih banyak buruh yang bekerja di hotel-hotel,” kata Wira, yang juga ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB ini.
Wira menambahkan, KSPI sama seperti kelompok masyarakat yang lain, menolak UU Omnibus Law .
"Tapi cara menolak saya kan dengan cara tadi. Mulut kita dibungkam tapi pena harus berbicara," tegasnya.
Dasar penolakan mereka sangat jelas, UU tersebut hanya menguntungkan investor, sementara buruh akan sangat dirugikan.
Baca juga: Gubernur NTB Ingin Labangka Jadi Kawasan Food Estate Terbaik di Indonesia
"Dengan aturan dan undang-undang yang ada saja masih banyak masalah, apalagi dengan UU Omnibus Law
ini," ujarnya.
Pemerintah dan dewan, lanjut Wira, harusnya tidak sibuk mengurus aturan yang menguras konsentrasi publik. Pemerintah harusnya fokus pada penanganan pandemi Covid-19.
"Jangan lagi memunculkan isu baru, kan negara ini dalam kondisi yang sakit," ujarnya.
Dalam beberapa hari terakhir, aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di NTB
terus terjadi.
Baca juga: Namanya Dipakai di Poster Demo Tolak UU Cipta Kerja, Begini Reaksi Anya Geraldine
Terpisah, Rektor Universitas Mataram (Unram) Prof H Lalu Husni menjelaskan, setelah UU Cipta Kerja diketok DPR RI, masih ada waktu 30 hari bagi warga untuk memberikan masukan sebelum disahkan pemerintah.
Unram siap memfasilitasi seluruh elemen masyarakat, termasuk para mahasiswa untuk mengkaji dan mengkritisi UU omnibus law tersebut.
”Kita bedah undang-undang ini kemudian kita berikan rekomendasi solutif,” seru pakar hukum ketenagakerjaan ini.
Meski demikian, unjuk rasa juga bagian dari hak warga negara yang diatur undang-undang.
Tapi jika terus-terusan berunjuk rasa akan banyak energi dan pikiran terbuang.
”Lebih baik energi itu dipakai untuk mengkaji dan memberikan saran perbaikan,” sarannya.
(*)