Berita Sumbawa
Jaksa Tahan Kades dan 2 Anggota LPM di Sumbawa dalam Kasus Sewa Tanah untuk Tower
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sumbawa menahan tiga orang dalam kasus dugaan korupsi sewa lahan untuk tower di Desa Jorok.
Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Rozi Anwar
TRIBUNLOMBOK.COM, SUMBAWA - Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penyimpangan sewa tanah Desa Jorok, Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa, resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Sumbawa, Senin (15/9/2025).
Tindakan hukum ini menyusul dugaan penyimpangan dalam sewa tanah untuk pembangunan tower Indosat dan XL yang terjadi selama periode 2021-2023.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menahan tiga orang warga Kecamatan Utan, yakni oknum DS dan Sul yang merupakan anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Jorok, serta Mhr, Kepala Desa Jorok, setelah sebelumnya menjalani pemeriksaan kesehatan oleh tim medis dari RSUD Sumbawa.
Kajari Sumbawa, Hendi Arifin menjelaskan, proses penyidikan kasus ini melibatkan sejumlah saksi yang berasal dari berbagai pihak terkait, termasuk kepala desa, mantan kepala desa, sekretaris desa, bendahara desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta beberapa warga lainnya. Mereka semua telah diperiksa secara intensif oleh tim penyidik Kejari Sumbawa.
"Setelah dilakukan ekspose dan pemeriksaan mendalam, tiga tersangka ditetapkan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini," katanya.
Baca juga: KPK Periksa Wasekjen GP Ansor sebagai Saksi dalam Dugaan Korupsi Kuota Haji
Ketiga tersangka kini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (3) UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hendi menegaskan bahwa penahanan ketiga tersangka dilakukan selama 20 hari ke depan di Rutan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sumbawa untuk mempermudah proses penyidikan lebih lanjut.
Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Sumbawa, Indra Zulkarnain, mengungkapkan bahwa dalam proses penyidikan, belasan pihak terkait telah memberikan keterangan secara kooperatif, termasuk pihak-pihak seperti perantara atau penghubung, perwakilan Indosat, mantan Kepala Desa, Kepala Desa Jorok, Sekretaris Desa, Bendahara Desa, anggota LPM, Kepala Dusun, Karang Taruna, pengurus PKK, Posyandu, dan pengurus Masjid.
"Kami juga mengumpulkan sejumlah bukti dokumen terkait kasus ini," tuturnya.
Kasus ini bermula pada tahun 2006, ketika tanah Desa Jorok seluas sekitar 23 are disewa oleh PT EMA untuk pembangunan tower pemancar Indosat dengan nilai kontrak Rp80 juta selama 15 tahun, yang berakhir pada tahun 2021.
Setelah kontrak pertama berakhir, dilakukan perpanjangan dengan nilai kontrak baru sebesar Rp540 juta.
Namun, setelah pembayaran kontrak kedua tersebut diterima pada akhir 2024, diduga terjadi penyimpangan. Sebagian dari dana tersebut, yaitu sebesar Rp 270 juta, dicairkan oleh Bendahara Desa atas perintah Kepala Desa untuk diberikan kepada LPM setempat sebagai jatah fee.
Bahkan, diketahui bahwa tower Indosat tersebut sudah dijual dan menjadi milik PT EMA.
"Pencairan uang tersebut jelas melanggar aturan, karena seharusnya dana itu digunakan untuk kepentingan Desa, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu," kata Indra.
Kasus ini kini terus berkembang, dengan penyidikan yang masih berlangsung untuk mengungkap lebih lanjut peran semua pihak yang terlibat.
"Kami akan tetap kembangkan kasus ini, dengan penyediaan agar kasus ini tuntas," pungkasnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.