Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Owner PT Karya Selancar Lombok, Zainuddin mengeluhkan aksi pencegatan yang dilakukan sejumlah petugas yang terdiri dari Satpol PP Lombok Timur dan TNI, saat pihaknya membawa tamu untuk berselancar di teluk Ekas Lombok Timur.
Dikatakan Zainuddin, pencegatan dilakukan dengan sejumlah 6 kapal milik petugas yang membawa paksa perahu miliknya untuk sandar di Ekas.
“Bener kejadiannya itu tadi siang, kita bawa 5 tamu asing untuk berselancar di Teluk Ekas, sesaat kemudian ada 6 boat dari Satpol PP yang menyuruh kami untuk sandar terlebih dahulu di Ekas,” ucap Zainuddin Senin (18/8/2025).
Dia juga mempertanyakan wewenang dari Satpol PP dan TNI AD yang mencegat perahunya di perairan saat menuju ombak Ekas.
Zainuddin juga menyadari bahwa ada aturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Lombok Timur melalui awik-awiknya, untuk semua kapal yang datang dari Awang harus sandar terlebih dahulu di Ekas.
Akan tetapi, ia menilai hal tersebut justru akan mematikan usaha dari pegiat wisata di Awang.
“Banyak tamu kita kecewa, dia sudah bayar untuk berwisata, mereka nggak mau repot kesana kemari yang dikatakan membuang waktu, kalau seperti ini bisa saja tamu-tamu kita ogah berwisata kembali kesana (Teluk Ekas),” ungkapnya.
Menurutnya jika melalui darat menuju Ekas, wisatawan banyak banyak mengeluh karena jarak tempuh relatif jauh.
“Hingga kebijakan untuk sandar dulu di Ekas ini menurut kami perlu dikaji, ini akan berdampak buruk nanti, bukan hanya kita di Awang tapi juga temen-temen di Ekas,” tegasnya.
Dia menyarankan, pihak Pemerintah Daerah (Pemda) Lombok Timur harus berfikir solutif atas peritiwa ini.
Menurutnya, akan jauh lebih baik jika Pemda menyiapkan kubus apung atau dermaga modern yang ditempatkan di sekitaran spot slancar di teluk Ekas.
“Kita sarannya begitu, malah pebih baik ada dermaga terapung di sana, tidak apa-apa dermaga itu dikelola oleh temen dari Ekas, di sana mereka siapkan Mooring, satu kapal bisa ditarifkan Rp50 ribu semisal untuk sandar per jamnya, kita malah apresiasi itu,” katanya.
Dengan skema sandar yang harus dilakukan terlebih dahulu di Ekas menurutnya terlalu merugikan, tamu banyak yang komplain dan ogah untuk berwisata kembali.
“Karena tamu kita ini kan berwisata dia juga punya waktu yang memang dipertimbangkan, kalau harus sandar, trus oper peralatan selancar dengan pindah kapal, kemudian baliknya juga seperti itu, banyak tamu kita yang merasa keberatan,” pungkasnya.
Baca juga: Dispar Lombok Tengah dan Lombok Timur Sepakati Sejumlah Solusi Terkait Teluk Ekas
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Timur, Widayat mengatakan, pihaknya tegas dalam menegakkan aturan yang telah disepakati bersama.
Terlebih aturan yang telah ditetapkan merupakan bentuk persetujuan bukan hanya saja dari pelaku wisata yang berada di Ekas, namun juga di Lombok Tengah.
“Untuk di Lombok Timur kita akan tegas dengan aturan, dan ini sudah ada awik-awik yang kita buat,” kata Widayat.
Dia juga membenarkan adanya pencegatan yang dilakukan oleh sejumlah oleh Satpol PP dan TNI.
“Di sana kita libatkan semua, Polairud, Satpol PP, TNI, hingga kepolisian,” tegasnya.
Widayat menegaskan, semua pihak khususnya pelaku wisata yang di Awang harus mengikuti aturan.
“Semua harus taat pada aturan, jika tidak silahkan jangan berwisata ke Lombok Timur,” tandasnya.
Sebelumnya pelaku wisata lokal di Ekas, Ruth Seran atau yang akrab disapa Noy, memberikan penjelasan panjang terkait perselisihan pelaku wisata Ekas dan Awang.
Menurut Noy, keluhan utama datang dari masyarakat lokal yang merasa termarginalkan. Banyak tamu datang ke Teluk Ekas melalui jalur distribusi dari luar daerah, namun tidak memberi kontribusi ekonomi bagi warga terdekat, termasuk pemandu lokal dan pemilik warung.
“Yang jadi keluhan itu bukan saja dari kami pelaku wisata, tapi para warga lokal tidak mendapatkan kesempatan pendapatan dari Ombak Emas ini. Kami justru mendukung langkah bapak, jangan hanya dipandang emosional karena di-foto sedang angkat jangkar,” tambahnya.
Noy mengungkapkan bahwa sekitar 95 persen pendapatan pariwisata di Ekas bersumber dari aktivitas surfing. Namun para pelaku lokal, termasuk pemuda dan UMKM, kutang medapatkan peluang ekonomi dari wilayahny yang dekat dengan Ombak itu.
“Teman-teman dari Awang (Lombok Tengah) datang bawa tamu, pelatih, bahkan bekal makanan sendiri. Sudah sampai di lokasi surfing, kami yang di wilayah terdekat malah gak dapat apa-apa. Wajar bapak kecewa melihat keluhan pelaku wisata lokal,” katanya.
Selain persoalan ekonomi, Noy juga menyoroti aspek keselamatan. Ia menyebut bahwa ia kerap mendapati pelatih dari luar tidak mengikuti standar internasional dalam pelatihan surfing, seperti tidak menggunakan leash (tali pengaman papan selancar).
“Itu fungsinya biar kalau jatuh, papan gak kelempar ke orang lain. Ini SOP internasional, walau nggak tertulis. Tapi sering diabaikan dan menimbulkan kecelakaan,” ujarnya.
Noy juga menambahkan bahwa sering terjadi tabrakan antara peselancar pemula dan tingkat menengah, karena jumlah tamu dalam satu kapal bisa mencapai 15-20 orang, sementara mayoritas masih awam.
“Yang nginep di Ekas itu yang selalu ngalah. Tapi kita gak pernah melarang orang untuk main di ombak. Kita cuma ingin ada kontribusi dan saling berbagi rezeki dengan damai,” tegasnya.
(*)