Oleh: Dr. Ahsanul Khalik
*Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan
Gempa mengguncang saat langit masih biru ketika cahaya mentari menyapa pagi 29 Juli 2018, bumi Lombok seakan membuka rahasia kesakitannya, menggetarkan tanah dengan kekuatan 6,4 skala richter, lalu kembali menggeliat lebih hebat sepekan kemudian, tepat pada malam 5 Agustus, saat umat Islam sedang bersiap-siap menunaikan shalat Isya.
Gempa 7,0 SR itu adalah denting duka yang memecah keheningan malam, membuyarkan rasa aman, dan mengubah wajah Pulau Seribu Menara Masjid menjadi lautan reruntuhan. Tak berselang lama, susulan demi susulan menyusul, tanggal 9 Agustus, 19 Agustus, dan banyak lainnya, bahkan hingga berbulan-bulan kemudian.
Rumah-rumah tumbang seperti terbuat dari kertas, masjid dan sekolah bersimpuh di tanah, jalan-jalan retak seperti saraf trauma yang merambat dari gunung ke pesisir, dari dusun ke kota.
Anak-anak menangis mencari ibunya, orang tua terjaga tanpa tidur di atas tanah lapang, wajah-wajah pucat termenung dengan pandangan kosong yang sulit dilukis. Hari-hari penuh ketakutan itu menjelma pekat tanpa ujung.
Malam menjadi mencekam, siang hanya menambah letih dan lesu. Segala hal yang dulu biasa menjadi mewah: air bersih, makanan, tempat berteduh, dan rasa aman.
Namun dari puing-puing dan debu itu, justru lahir kesaksian paling agung tentang kemanusiaan dan ketangguhan. Ketika langit tampak bisu, manusialah yang bersuara dengan zikir dan istighfar.
Ketika bumi bergolak, warga NTB tidak tenggelam dalam kekacauan, tapi justru saling memanggul beban. Tak ada kabar penjarahan, tak terdengar berita perampokan. Dapur-dapur umum berdiri bukan karena instruksi, tapi karena hati yang terpanggil. Posko-posko bantuan lahir dari tangan-tangan sukarela, relawan datang tanpa komando.
Baca juga: 6 Tahun Gempa Lombok, Siswa SDN 2 Sembalun Masih Belajar dalam Ketakutan
Dari Bima dan Dompu, dari Sumbawa Barat dan Tengah, dari dusun pegunungan hingga pesisir terpencil, semua bergerak. Dou Mbojo dan Tau Samawa mengirim truk-truk logistik dan doa.
Indonesia pun datang memeluk Lombok, dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua membuktikan bahwa luka satu anak negeri adalah luka seluruh bangsa. Kantor pos dibuka gratis, bantuan menyusuri jalanan penuh retakan, menerobos tanah longsor dan debu bangunan yang masih menyisakan trauma.
Mereka tidak menuntut apa pun, hanya ingin melihat senyum para penyintas, senyum yang menjadi ‘bayaran’ paling mahal dan paling indah bagi setiap tetes keringat kemanusiaan yang mereka curahkan.
Di balik kepanikan dan ketidaksiapan, Pemerintah pun tak tinggal diam. Instruksi Presiden diterbitkan, lalu Pemerintah Provinsi NTB merespons cepat dengan membentuk tim-tim darurat, satuan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi, menyisir setiap sudut daerah terdampak.
Meski cakupan wilayah begitu luas dan korban begitu banyak, upaya kolektif terus dikerahkan. Tak semua berjalan sempurna dan itu lumrah. Keterbatasan selalu ada, tetapi kehendak untuk hadir, untuk bertanggung jawab, tetap menyala.
Kita tidak sempurna, tetapi kita tidak menyerah. Yang paling membanggakan adalah bahwa moralitas masyarakat NTB tidak runtuh bersama bangunan mereka. Di tengah duka, mereka tetap santun, tetap berbagi, tetap memikirkan sesama.
"Orang NTB itu keren, Pak. Mereka manut, sopan, dan mau bekerja sama," begitu kesan para relawan yang datang dari luar daerah. Kesan seperti itu tidak lahir dari sandiwara sesaat, melainkan dari nilai hidup yang tertanam dalam keseharian: nilai gotong royong, welas asih, dan rasa malu yang luhur jika tak peduli terhadap derita tetangga.
Kini, tujuh tahun sudah berlalu. Bangunan telah berdiri kembali. Sekolah dan masjid kembali ramai. Tapi satu hal yang tak boleh hilang dari ingatan adalah pelajaran dari luka itu sendiri, bahwa bencana adalah tamu tak diundang, namun bukan alasan untuk kita panik tak berdaya.
Justru dari sana kita belajar tentang pentingnya kesiapsiagaan, pentingnya kesatuan, pentingnya sistem yang rapi dalam menghadapi masa darurat.
Maka, refleksi gempa 2018 harus menjadi fondasi untuk menata masa depan NTB yang lebih tangguh bencana. Kita harus membangun sistem yang kokoh, dari pengetahuan publik, hingga kesiapan desa, dari data yang akurat, hingga perencanaan ruang yang bijak.
Karena itulah, kini saatnya memperkuat basis mitigasi risiko secara terstruktur. Kita perlu terus memperkuat NTB Satu Data Kebencanaan, sistem informasi yang mencatat secara lengkap fase pra bencana, saat bencana, hingga pasca bencana. Ini penting untuk mendukung perencanaan dan kebijakan yang tepat dan cepat. Selain itu, penguatan Desa Tangguh Bencana harus menjadi prioritas.
Bukan sekadar seremonial, tetapi berupa pelatihan evakuasi mandiri, penyediaan alat siaga darurat, dan pembentukan kelompok relawan desa yang paham betul tindakan pertama ketika gempa kembali datang.
Koordinasi antar pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi juga harus diperkuat. Bencana tidak mengenal batas wilayah administratif, maka sinergi lintas daerah menjadi keniscayaan. Bahkan, kolaborasi dengan masyarakat sipil, organisasi keagamaan, dunia usaha, hingga komunitas lokal menjadi kekuatan besar yang harus terus dirawat.
Tata ruang juga harus dikaji ulang, kawasan rawan gempa tidak boleh lagi dihuni, harus disulap menjadi ruang terbuka hijau atau tempat evakuasi massal. Dan yang tak kalah penting adalah pendidikan kebencanaan kepada publik.
Masyarakat harus tahu apa yang dilakukan ketika bencana datang, bagaimana menyelamatkan diri, ke mana harus mengungsi, bagaimana bertahan hidup, dan bagaimana bangkit.
Semua ini bukan semata program, tetapi jalan menuju peradaban tangguh. Karena NTB bukan hanya butuh pembangunan fisik, melainkan pembangunan jiwa yang siaga, peka, dan saling menjaga.
Refleksi gempa 2018 adalah warisan luka yang menjelma cahaya. Cahaya yang mengarahkan kita untuk tidak mengulangi kelalaian, untuk tidak alpa menyiapkan generasi yang paham bencana.
Kita tidak ingin anak cucu kita hanya mewarisi cerita tangis, tapi juga kebanggaan bahwa leluhurnya belajar dari derita, lalu bangkit dan membangun daerah yang siap menyambut apapun yang datang. Karena sejatinya, ketangguhan bukan tentang tak pernah jatuh, tetapi tentang bagaimana kita bangkit dengan kepala tegak, hati lapang, dan tangan yang saling menggenggam.
Itulah NTB yang sedang kita tuju. NTB yang kuat bukan karena bebas dari bencana, tapi karena siap menghadapinya dengan ilmu, iman, dan solidaritas. Dan kita semua adalah bagian dari jalan panjang menuju NTB yang tangguh, bermartabat, dan berjiwa besar.