Kasus Perusakan Gerbang DPRD NTB Saat Demo Mahasiswa Berakhir Damai Melalui Restorative Justice

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RESTORATIVE JUSTICE - Enam orang tersangka perusakan gerbang DPRD NTB didampingi kuasa hukum berpose usai menandatangani berita acara restorative justice bersama perwakilan DPRD NTB di Kantor Kejaksaan Negeri Mataram. Restorative justice kasus perusakan gerbang DPRD NTB ditandai dengan dokumen kesepakatan damai, pakta integritas, dan berita acara kesepakatan damai.

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Kasus perusakan gerbang Kantor DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) saat aksi unjuk rasa berakhir damai.

Dalam kasus tersebut sudah ditetapkan enam orang tersangka berinisial HF, DI, MF, MA, RR dan KS, keenamnya berasal dari perguruan tinggi yang berbeda-beda.

Kuasa hukum tersangka Yan Mangandar mengatakan, kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Mataram.

Namun kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai (restorative justice) dan menghentikan proses hukumnya.

"Dasar restorative justice ini, karena ada surat permohonan penghentian penuntutan yang pernah diajukan kuasa hukum dan adanya pernyataan perdamaian yang dilakukan para pihak 18 Februari 2025," kata Yan, Jumat (18/4/2025).

Baca juga: Jumlah Tersangka Perusakan Gerbang DPRD NTB Bertambah Jadi 8 Orang

Proses restorative justice ini ditandai dengan dokumen kesepakatan damai, pakta integritas, dan berita acara kesepakatan damai.

Yan berharap dengan adanya kesepakatan damai antara kedua belah pihak, penuntut umum dalam nota pendapatnya mendukung upaya ini kemudian dilaporkan ke Kepala Kejaksaan Negeri Mataram untuk disetujui.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unram Lalu Nazir Huda menyampaikan, proses restorative justice yang dilakukan pada Kamis (17/4/2025) membuat para mahasiswa lega.

Namun dia menyayangkan sikap DPRD NTB yang melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian.

Menurutnya bukan mahasiswa yang harus disalahkan karena merusak gerbang pada aksi demonstrasi Agustus 2024.

Nazir mengatakan seharusnya DPRD bisa menjadi penengah dan pengawas atas kebijakan kesewenang-wenangan pemerintah, yang dianggap merugikan masyarakat.

"Kalau birokrasi kita tidak mencacati demokrasi yang ada atau membuat aturan semau-maunya, mungkin mahasiswa tidak akan turun ke jalan," katanya.

Dia berharap peristiwa ini tidak terulang lagi karena dinilai  mengkhianati demokrasi di NTB. 

(*)

Berita Terkini