Oleh: Amir Mahmud
Masyarakat NTB
"Seorang pemimpin yang baik harus mau di pimpin terlebih dahulu". Aristoteles.
Tak ada lawan dan kawan. Tak ada musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Ungkapan lumrah yang biasa di lontarkan para politisi. Namun, saat ini ungkapan itu mendesak untuk kita wujudkan. Kita butuh kebesaran hati dan kelapangan dada untuk menerima realitas politik ini.
Biarlah semua harapan, angan-angan, ambisi mengalir mengikuti lekuk sungai kepentingan. Sehingga akan bermuara pada suatu titik pertemuan kepentingan yang sama. Dan biarkan waktu yang merawatnya.
Pemilihan telah usai. Tak ada lagi perdebatan. Tak ada pula "serang-menyerang". Intrik dan trik. Pesta telah usai. Mari berbaur kembali dalam pergaulan. Menang-kalah sudah tak relevan.
Mari merajut kembali persaudaraan, perkawanan. Tak ada yang lebih urgen dari merawat dan memperbaiki sendi-sendi sosial yang retak akibat perbedaan dan persinggungan politik. Persatuan kunci pembangunan NTB.
Seberapapun bagus konsep, gagasan, ide untuk membangun daerah tercinta NTB, tak akan pernah terwujud jika persatuan kita tidak solid. Syarat untuk menjadi daerah maju, makmur, berdaya saing, dan gemilang mendunia adalah soliditas persatuan masyarakat seluruhnya.
Persatuan seluruh masyarakat NTB keharusan yang tidak bisa di tawar lagi. Adalah tugas pemimpin terpilih untuk mengumpulkan kembali fragmen sosial yang terbelah menjadi kepingan dan serpihan politik pasca pemilihan terselenggara.
Dalam kesadaran politik rasional, keutuhan sendi-sendi sosial adalah agenda penting yang harus segera diagendakan. Pemimpin terpilih tidak perlu menunggu agenda formal untuk menyatukan keterbelahan itu.
Rekonsiliasi Sosial
Proses tahapan pemilihan kepala daerah hanya tinggal penetapan dan pelantikan. Biarlah menjadi tugas penyelenggara pemilu menuntaskannya. Kita sebagai masyarakat telah selesai tugas memberikan dukungan kepada para calon kepala daerah.
Menang-kalah biarkan menjadi urusan "wasit pemilu" menetapkan. Siapapun terpilih menjadi pemimpin NTB itulah terbaik dari yang ada. Dan tugas kita selanjutnya adalah mengawal semua janji politik yang di tawarkan.
Dalam rangka mengawal visi-misi pemimpin baru, kita butuh kebersamaan. Ikatan sosial yang sempat terputus akibat gesekan politik, mari kita satukan. Hanya dengan kebersamaan dan persatuan elemen sosial, pemerintahan yang baru dapat kita kontrol agenda politiknya ke depan.
Pemimpin baru membutuhkan partisipasi seluruh masyarakat NTB untuk membangun. Karena itu keretakan sosial yang terjadi saat ini harus kita rekonsiliasi. Kita butuh rekonsiliasi sosial. Dan menjadi tugas pemimpin atau gubernur terpilih untuk memulai merajutnya.
Kita butuh keteladanan dari semua calon yang berkontestasi. Kembalikan lagi ikatan sosial masyarakat NTB yang tebelah. Ajarkan kepada kami arti persaudaraan di atas segala kepentingan kuasa. Sikap dan keteladanan almarhum KH Abdurrahman Wahid patut di tiru: apa yang lebih penting dari kemanusiaan dari pada kekuasaan.
Sebagai tokoh publik sepatutnya memberi contoh kepada masyarakat. Di atas semua perbedaan dan pertentangan dalam ide, gagasan dan cara pandang, harmonisasi dan persatuan adalah keniscayaan.
Ego boleh tidak pudar. Gengsi boleh tidak turun. Ambisi boleh tidak luntur. Tapi jati diri dan harga diri tidak boleh hancur karena ego, gengsi, dan ambisi yang tidak pasti.
Narasi harmoni yang di tunjukkan akan menjadi warisan abadi bagi seluruh generasi di alam demokrasi negeri. Sebab hanya narasi harmoni yang akan di kenang sepanjang masa sebagai cahaya kebajikan bagi pelaku politik di masa akan datang. Bahwa tidak selamanya politik harus berakhir benci dan harakiri demi ambisi.
Selamat bagi semua kontestan yang sudah bertarung dengan segala ikhtiar, pengorbanan, membangun demokrasi agar tetap berkembang menemukan jalan terbaiknya. Sehingga pada satu waktu masyarakat akan menemukan idealitas demokrasi sebagai kejeniusan sosial masyarakat.
Akhirnya saya ingin sampaikan: yang menang jagalah yang kalah dengan penghormatan bukan sebagai yang kalah. Tapi muliakan sebagai petarung dan teman, sahabat, saudara yang pernah menemani menyisir waktu merawat demokrasi.
(*)