Ganjar Mahfud

Mahfud Berkomitmen Libatkan Masyarakat Adat, Sebut 20 Ribu Orang di Hutan Kalimantan Tak Punya KTP

Editor: Sirtupillaili
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD (kiri) dan Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar.

"Misalnya begini, ada sekian ribu kasus. Ini yang berat, dikategorikan tiga misalnya. Kita katakan yang kategori satu harus selesai dalam enam bulan, kategori dua selesai enam bulan, kategori tiga harus selesai dalam enam bulan. Lalu kita mulai lagi menata kehidupan kita di bidang pertanahan," kata dia.

"Sehingga tadi, proses kesepakatan untuk KINAG (Keputusan Kepala Inspeksi Agraria) dan sertifikat tanah itu akan menjadi bagian dari apa yang sudah kami rencanakan," sambung dia.

Mahfud sebelumnya menjelaskan berdasarkan data yang dihimpun Kemenko Polhukam, setidaknya saat ini ada 2.587 pengaduan terkait masalah konflik agraria khusunya menyangkut tanah adat.

Ia memperkirakan pengaduan terkait konflik agraria mencapai puluhan ribu termasuk yang diadukan ke lembaga lain di antaranya kepolisian maupun Kementerian ATR/BPN.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, ia menjelaskan undang-undang di zaman kepemimpinan Presiden pertama RI Soekarno yang menyatakan bahwa tanah-tanah milik masyarakat adat agar diberikan ke masyarakat adat.

Pada waktu itu, kata dia, pemerintah mempunyai inspektorat jenderal agraria.

Produk dari lembaga tersebut, kata Mahfud, di antaranya adalah KINAG yang menyatakan terkait kepemilikan lahan oleh masyarakat adat.

Akan tetapi, kata dia, sesudah zaman Orde Baru muncul lembaga BPN.

Sehingga, kata dia, produk yang dikelaurkan KINAG tersebut tidak bernilai sama dengan sertifikat.

"Sehingga menjadi mentah lagi persoalannya. Jadi tumpang tindih sertifikat. Pada saat KINAG itu dikeluarkan, itu secara hukum sah. Tetapi begitu ada Orde Baru itu harus bentuk sertifikat dari BPN. Terjadi tumpang tindih, terjadi kasus Rempang, dan sebagainya," kata dia.

"Oleh sebab itu, menurut saya ini harus dibuat kesepakatan bagaimana cara menyelesaikan ini," sambung dia.

Sementara itu, Muhaimin hanya menjelaskan lembaga yang mengurusi reforma agraria perlu dibentuk di bawah presiden.

Menurutnya, untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang muncul di bidang agraria membutuhkan kemauan dan kesungguhan pemimpin.

"Banyak masalah yang menjadi kendala terlaksananya reforma agraria salah satunya birokrasi kita, kesungguhan politik kita, kemauan kepemimpinan. Di bawah presiden harusnya ada satu kelembagaan yang bisa mengelola reforma agraria dengan sangat sungguh-sungguh, tidak dibiarkan terus menerus," kata dia.

(*)

Berita Terkini