TRIBUNLOMBOK.COM, JAKARTA - Pelibatan masyarakat adat pada setiap kebijakan pemerintah sangat penting agar warga dapat merasakan keadilan pembangunan.
Calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD, dalam debat Minggu (21/1/2024), mengungkapkan, sejak lama dirinya berkomitmen pada pelibatan masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan.
Hal tersebut disampaikan Mahfud, menanggapi tanggapan dari calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimim Iskandar dan nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka.
Mahfud MD menceritakan pengalamannya saat membatalkan 14 pasal Undang-Undang wilayah pesisir yang tak melibatkan masyarakat adat.
"Coba sekarang ini masyarakat adat yang ada di hutan-hutan di Kalimantan Timur itu, 20 ribu orang tidak bisa memilih karena tidak punya KTP. Kenapa tidak punya KTP? Karena katanya dia menghuni hutan negara. Lah kalau hutan negara tidak boleh ada penduduk di situ? Padahal dia sudah puluhan tahun di situ," kata dia.
Baca juga: Mahfud MD Kritik Prabowo: Jangan seperti Food Estate yang Gagal dan Merusak Lingkungan
Selain itu, ia juga merespons terkait RUU masyarakat hukum adat.
Ia menegaskan penyelesaian RUU masyarakat hukum adat akan dijalankan Ganjar-Mahfud apabila terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
"Tentang RUU Masyarakat Hukum Adat, sudah masuk dalam program kami, divisi kami, memang itu sudah sejak 2014 tidak jalan, akan kita jalankan," kata dia.
Mahfud-Cak Imin soal Refirma Agraria
Sementara pada saat segmen kelima debat yakni tanya jawab antar cawapres, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar memiliki kesamaan pandangan.
Mereka sama-sama menyinggung perlunya badan khusus yang mengurus reforma agraria.
Mahfud setuju dengan pandangan Muhaimin atau Cak Imin yang menilai perlu adanya lembaga khusus yang mengurusi reforma agraria.
Namun bedanya, Mahfud menjelaskan dengan relatif gamblang seperti apa nantinya kerja dari badan tersebut.
Menurut Mahfud ide tentang perlunya lembaga tersebut telah diusulkan tim reformasi hukum yang melibatkan berbagai kampus.
Lembaga tersebut diusulkan untuk menangani sejumlah persoalan di antaranya terkait dengan konflik agraria.
"Misalnya begini, ada sekian ribu kasus. Ini yang berat, dikategorikan tiga misalnya. Kita katakan yang kategori satu harus selesai dalam enam bulan, kategori dua selesai enam bulan, kategori tiga harus selesai dalam enam bulan. Lalu kita mulai lagi menata kehidupan kita di bidang pertanahan," kata dia.
"Sehingga tadi, proses kesepakatan untuk KINAG (Keputusan Kepala Inspeksi Agraria) dan sertifikat tanah itu akan menjadi bagian dari apa yang sudah kami rencanakan," sambung dia.
Mahfud sebelumnya menjelaskan berdasarkan data yang dihimpun Kemenko Polhukam, setidaknya saat ini ada 2.587 pengaduan terkait masalah konflik agraria khusunya menyangkut tanah adat.
Ia memperkirakan pengaduan terkait konflik agraria mencapai puluhan ribu termasuk yang diadukan ke lembaga lain di antaranya kepolisian maupun Kementerian ATR/BPN.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, ia menjelaskan undang-undang di zaman kepemimpinan Presiden pertama RI Soekarno yang menyatakan bahwa tanah-tanah milik masyarakat adat agar diberikan ke masyarakat adat.
Pada waktu itu, kata dia, pemerintah mempunyai inspektorat jenderal agraria.
Produk dari lembaga tersebut, kata Mahfud, di antaranya adalah KINAG yang menyatakan terkait kepemilikan lahan oleh masyarakat adat.
Akan tetapi, kata dia, sesudah zaman Orde Baru muncul lembaga BPN.
Sehingga, kata dia, produk yang dikelaurkan KINAG tersebut tidak bernilai sama dengan sertifikat.
"Sehingga menjadi mentah lagi persoalannya. Jadi tumpang tindih sertifikat. Pada saat KINAG itu dikeluarkan, itu secara hukum sah. Tetapi begitu ada Orde Baru itu harus bentuk sertifikat dari BPN. Terjadi tumpang tindih, terjadi kasus Rempang, dan sebagainya," kata dia.
"Oleh sebab itu, menurut saya ini harus dibuat kesepakatan bagaimana cara menyelesaikan ini," sambung dia.
Sementara itu, Muhaimin hanya menjelaskan lembaga yang mengurusi reforma agraria perlu dibentuk di bawah presiden.
Menurutnya, untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang muncul di bidang agraria membutuhkan kemauan dan kesungguhan pemimpin.
"Banyak masalah yang menjadi kendala terlaksananya reforma agraria salah satunya birokrasi kita, kesungguhan politik kita, kemauan kepemimpinan. Di bawah presiden harusnya ada satu kelembagaan yang bisa mengelola reforma agraria dengan sangat sungguh-sungguh, tidak dibiarkan terus menerus," kata dia.
(*)