Pilpres 2024

Kata PBNU dan Pemuda Muhammadiyah Soal Polemik Ucapan Amin Zulkifli Hasan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menemui kader dan simpatisan PAN di Kota Bima, Minggu (10/12/2023). PBNU dan Pemuda Muhammadiyah mengomentari polemik ucapan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan soal ucapan Amin saat sholat.

TRIBUNLOMBOK.COM - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrurrozi atau Gus Fahrur meminta Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) segera meminta maaf.

Hal itu terkait video viral di sosial media Zulhas menyebut ada kelompok tak berani melafalkan amin karena fanatisme Capres tertentu.

Ucapan lainnya mengenai Zulhas yang bilang orang tidak berani menggunakan telunjuk satu jari ketika pembacaan tahiyat.

"Agar ini tidak berkelanjutan, saya kira Pak Zulhas cukup memberikan klarifikasi dan meminta maaf. Dan Saya kira tidak perlu dibesar-besarkan lagi, semoga ke depan pemilu lebih aman dan tertib," tegasnya, Kamis (21/12/2023) dikutip dari Tribunnews.

Gus Fahrur menilai candaan Zulhas dengan mengutip ritual keagamaan sebagai sesuatu yang tidak tepat bagi seorang tokoh.

Baca juga: Kampanye di Kota Bima, Ketum PAN Zulkifli Hasan Yakin Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran

"Jadi itu hanya bercanda, karena tidak mungkin seorang muslim melecehkan agamanya sendiri," kata Gus Fahrur dihubungi

Gus Fahrur mengingatkan di tahun politik, sebaiknya kampanye tidak perlu tidak membawa sumber-sumber agama. Serta tak perlu mempolitisir agama.

"Jadi mari berkampanye dengan lebih baik, lebih sehat, lebih santun agar tidak memancing keributan," imbaunya.

Pembelaan Pemuda Muhammadiyah

Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dzulfikar Ahmad menilai ucapan Zulhas perlu dilhiat dari berbagai sudut pandang.

Baca juga: Ketum PAN Zulkifli Hasan Terkesan dengan Kota Bima, Puji Laju Pembangunan dan Keindahan Alam

"Kami memilih diksi diskursus bukan konflik karena sejatinya perlu dilihat dengan sudut pandang yang beragam sekaligus sebagai proses pendewasaan beragama dan berpolitik,” ujarnya dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (21/12/2023).

Ia menjelaskan diskursus tersebut dapat dipahami dengan merujuk beberapa pandangan.

Pertama, perlu kiranya melihat diskursus ini dari berbagai perspektif, jangan hanya dari satu sisi lalu disimpulkan menurut pandangan masing-masing.

Tidak bisa langsung dikaitkan dengan agenda politik karena ini disampaikan pada Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kedua, apa yang disampaikan oleh Zulkifli Hasan pada kesempatan tersebut sepenuhnya menceritakan pengalaman yang dijumpainya dalam masyarakat lalu diungkapkan dalam sambutannya.

Ketiga, dalam hal menyampaikan apa yang didengarnya di lapangan tidak bisa serta merta itu dianggap pendapat atau pandangannya pribadi apa lagi dikaitkan dengan diksi Delik Penistaan Agama.

Keempat, untuk dapat dikatakan memenuhi delik penistaan agama terlebih dahulu harus mengkaji dan merujuk pada ketentuan dan pegaturannya yang terdapat dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sementara itu, dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (namun mulai berlaku efektif tahun 2026), terdapat juga beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku penistaan agama, salah satunya diatur dalam Pasal 304.

Lalu Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Ketiga, Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, perlu diperhatikan dalam Lampiran SKB UU ITE bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA.

Kelima, berdasarkan seperangkat aturan apa yang disampaikan oleh Zulhas sebagai kelakar tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai upaya penistaan agama karena sama sekali tidak ada motif mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan atas dasar SARA.

“Pemuda Muhamamdiyah mengimbau segenap anak bangsa untuk tidak menjadikan ini sebagai polemik yang dapat berujung pada kegaduhan dan mengusik rasa persaudaraan, terlebih jika diskursus ini ditarik ke ranah politik dan Pilpres.

Kita tentu sebagai bangsa yang memiliki nilai keluhuran yang tinggi dan keadaban maka mari kita maknai ini sebagai proses pendewasaan kita dalam beragama dan berpolitik yang rahmatan lil’alamin,” pungkas Dzulfikar.

Polemik Zulhas

Berikut pernyataan Zulhas saat menyampaikan candaan mengenai gerakan salat hingga diam usai pembacaan surat Al-Fatihah ketika salat.

Sebelumnya, Zulhas sempat mengungkapkan keheranan soal perubahan sikap akhir-akhir ini tepatnya di tahun politik.

"Saya keliling daerah, Pak Kiai. Sini aman, Jakarta nggak ada masalah, yang jauh-jauh ada lho yang berubah."

"Jadi kalau salat Maghrib baca, 'waladholin... ', Al-Fatihah baca 'waladholin..' Ada yang diem sekarang, pak. Lho kok lain," kata Zulhas.

"Ada yang diem sekarang banyak, saking cintanya sama Pak Prabowo itu," imbuhnya.

Adapun yang dimaksud Zulhas, kelanjutan surat Al-Fatihah itu seharusnya adalah "Amin" yang dibaca bersamaan imam dan makmumnya.

Kemudian, Zulhas juga mengatakan ada yang duduk tahiyat menunjuk menggunakan dua jari.

"Itu kalau tahiyatul akhir awalnya gini (menunjukan jari telunjuk), sekarang jadi gini (menunjukkan dua jari, telunjuk dan tengah)," ucap Zulhas terheran-heran.

(Tribunnews.com)

Berita Terkini