Kasus DBD di NTB Meningkat di Akhir Tahun 2023

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat melakukan fogging, Rabu (15/3/2023). Pada Desember 2023 ini terjadi kenaikan jumlah kasus DBD, hal ini disebabkan karena peralihan musim dari kemarau ke musim penghujan.

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Tren penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami peningkatan di penghujung tahun 2023 ini.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi NTB, puncak DBD terjadi pada awal tahun 2023, kemudian menurun di pertengahan tahun.

Tercatat hingga November 2023, kasus DBD di NTB mencapai 3.245 kasus.

Pada Desember 2023 ini terjadi kenaikan jumlah kasus DBD, hal ini disebabkan karena peralihan musim dari kemarau ke musim penghujan.

Kepala Dikes NTB dr Hamzi Fikri menjelaskan tahun ini secara umum mengalami penurunan.

Baca juga: 268 Kasus DBD Terjadi di Kota Bima, Kepala Dikes Imbau Warga Terapkan Pola Hidup Sehat

"Saya lihat pola hujan tidak intens. Yang biasa terjadi kalau sudah hujan selang beberapa hari jentik jentik nyamuk mulai bertelur," kata Fikri, Kamis (14/12/2023).

Pada puncak DBD tahun ini, Kabupaten Bima menjadi daerah terparah yakni dengan 15 korban meninggal dunia.

Sempat ditetapkan sebagai Kasus Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Bima.

Proyeksi jumlah persentase kematian di NTB akibat DBD kurang dari 1 persen, sementara pada bulan Desember persentase kematian hanya 0,6 persen.

Fikri menjelaskan beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah DBD.

Antara lain mengimbau kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan.

Baca juga: 14 Warga Kabupaten Bima Meninggal karena DBD, Kemenkes RI Rekomendasikan Status KLB

Seperti menguras dan menyikat penampungan air, penutup tempat penampungan air, mendaur ulang barang bekas dan menggunakan obat nyamuk.

Fikri berharap masyarakat bisa mengenali tanda-tanda DBD seperti rasa nyeri sendi, demam, sakit kepala hebat hingga mual.

"Yang kita takutkan delay shock sindrom, karena keterlambatan penanganan," tutup Fikri.

(*)

Berita Terkini