Cara pertama terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan politik praktis, dan cara kedua menggunakan kewenangan serta kekuasaan dan tuga-tugas pelayanan yang dimilikinya dalam tugasnya sebagai ASN untuk membantu dan mendukung kekuatan politik tertentu.
Jadi, kalau mengawasi netralitas ASN seolah-olah cukup hanya dengan mengawasi dalam sistim kerja ASN, itu kurang pas.
Karena modus praktek politik praktis yang bisa dilakukan ASN bisa juga melalui afliasi politik dalam kelembagaan sosial keagamaan yang mereka ikuti.
Peraturan yang mengatur tentang netralitas ASN cukup banyak.
Mulai dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik hingga Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Lembaga pengawas juga sudah cukup banyak, mulai dari Komisi ASN, Bawaslu, Ombudsman RI dan pengawas internal seperti Inspektorat.
Tapi pengawasan netralitas ASN tidak boeh parsial. Selain secara sistemik juga memperhatikan hal-hal yang bersifatkultural.
Policy plus mengkritik pola pengawasan netralitas ASN selama ini yang terkesan parsial.
ASN dipandang seolah-olah hanya sebagai pelaku semata. Padahal ASN juga korban politik.
ASN juga harus dilindungi dari tekanan politik. Karena itu setiap lembaga pengawas harus merangkul publik untuk ikut aktif mengawasi dan terus menerus mengupayakan ASN agar terbebas dari tekanan secara struktural maupun kultural.
Karena bisa jadi ASN tidak takut kepada atasannya, tetapi sangat takut kepada himbauan pimpinan sosial mereka.
(*)