Opini

Menguji Netralitas ASN di Bawah Tekanan PPK dan Afiliasi Lembaga Sosial

Editor: Sirtupillaili
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi netralitas ASN

Oleh: Dr Adhar Hakim
(Pendiri Lembaga Riset dan Konsutan Kebijakan Publik, Policy Plus)

Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama ini sangat tergantung kepada bagaimana Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) membina dan memperlakukan ASN, serta afliasi kelembagaan sosial maupun keagamaan yang diikuti ASN.

Karena itu, sebaiknya lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu dan publik menitik beratkan pengawasan kepada pola pembinaan dan pengawasan intenal yang dilakukan PPK di masing-masing ingkungan kerja para ASN, serta kelompok sosial keagamaan ASN.

Menjelang perlehatan pilpres dan pemiihan legislatif, posisi ASN kembali menjadi sorotan.

Namun demikian, pola pandang yang menempatkan ASN sebagai individual dalam kontestasi politik kurang tepat.

Sebab, ASN secara kultur maupun struktur selama ini lebih banyak dipengaruhi oleh sistim pembinaan yang ada dalam budaya birokrasi yang memang sudah sangat kental pola politisasinya serta di mana ASN tersebut berafliasi secara kelembagaan sosial keagamaan.

Karena itu, pengawasan netralitas ASN harus mampu diihat secara lebih tepat.

Dalam berbagai catatan pelanggaran praktek poitik praktis yang dilakukan ASN lebih banyak terjadi karena tekanan, pengaruh, hingga arahan atasan mereka yakni PPK.

Yang dicatat dan diawasi selama ini kan lebih bayak yang bersifat fisik berupa mobilisasi dan tekanan. Padahal ada juga masalah lain yang bersifat kultural.

Hal tersebut bisa saja dilakukan mulai dari kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) sekertaris daerah, hingga masing-masing pimpinan di satuan kerja para ASN.

Jangan lupa afliasi poitik ASN juga dipengaruhi ketaatan mereka terhadap afliasi lembaga sosial keagamaan yang mereka ikuti.

Karena itu jangan lupa memperhatikan afliasi politik para PPK, hingga hingga bagaimana kehidupan sosial ASN.

Jangan lupa, dalam sistim sosial di Indonesia, ASN adalah individu yang juga sering terikat dengan komunitas sosial keagamaan mereka.

Selama ini, dalam praktek dua kekuatan tersebut, yakni kekuatan PPK sebagai atasan secara struktural, dan kekuatan sistim sosial secara kultur adalah kekuatan yang sangat mempengaruhi ASN.

Praktek ketidak netralan ASN bisa dilakukan dengan dua cara secara umum.

Cara pertama terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan politik praktis, dan cara kedua menggunakan kewenangan serta kekuasaan dan tuga-tugas pelayanan yang dimilikinya dalam tugasnya sebagai ASN untuk membantu dan mendukung kekuatan politik tertentu.

Jadi, kalau mengawasi netralitas ASN seolah-olah cukup hanya dengan mengawasi dalam sistim kerja ASN, itu kurang pas.

Karena modus praktek politik praktis yang bisa dilakukan ASN bisa juga melalui afliasi politik dalam kelembagaan sosial keagamaan yang mereka ikuti.

Peraturan yang mengatur tentang netralitas ASN cukup banyak.

Mulai dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik hingga Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Lembaga pengawas juga sudah cukup banyak, mulai dari Komisi ASN, Bawaslu, Ombudsman RI dan pengawas internal seperti Inspektorat.

Tapi pengawasan netralitas ASN tidak boeh parsial. Selain secara sistemik juga memperhatikan hal-hal yang bersifatkultural.

Policy plus mengkritik pola pengawasan netralitas ASN selama ini yang terkesan parsial.

ASN dipandang seolah-olah hanya sebagai pelaku semata. Padahal ASN juga korban politik.

ASN juga harus dilindungi dari tekanan politik. Karena itu setiap lembaga pengawas harus merangkul publik untuk ikut aktif mengawasi dan terus menerus mengupayakan ASN agar terbebas dari tekanan secara struktural maupun kultural.

Karena bisa jadi ASN tidak takut kepada atasannya, tetapi sangat takut kepada himbauan pimpinan sosial mereka.

(*)

Berita Terkini