Sebelum ke Madinah, akhir pekan lalu, Surabaya juga kota terbesar pertama yang pernah dikunjunginya.
Sahlan termasuk sosok tak banyak bicara.
Ia baru menjawab kala ditanya.
Jika diajak bercakap, bola matanya selalu tertuju ke mata lawan bicara.
Orangnya bersahaja.
Jika diam, banyak mendengar adalah definisi baik, Sahlan laik berpredikat orang baik.
Sahlan jadi cerita karena kegigihan niat dan upayanya untuk berhaji.
Empat puluh tahun terakhir, dia menghabiskan hari di dua pasar terjadwal di Kecamatan Ketapang, Pasar Kemmisan dan Pasar Jumat Pagi.
Di dua pasar tradisional itulah, Sahlan bekerja sebagai kuli keranjang ikan.
Ikan dari kapal dia angkut, pikul ke lapak pedagang. Upah hariannya antara Rp5.000 hingga Rp10 ribu.
"Jadi kole masih seket (rupiah) Pak Suharto" ujarnya, kenangya awal bayaran Rp50 rupiah era kejayaan Orde Baru, 1980-an.
Untuk tambah pendapatan, malam harinya, Sahlan jadi tukang pijit panggilan tetangga dan warga kampung tetangga.
Buruh di pasar kerap juga disebut kuli kasar.
Saat Tribun menjajal pijitan Sahlan, terasa betul ke-kasar-an kulit telapak jemarinya.
"Saya merasa telapak Sahlan laiknya papan yang belum diketam."
Bihaki menyebut, kalau pakai minyak Madura, pijatan tangan Sahlan, sekaligus jadi kerokan.
Bayaran juru pijat keliling, juga sebelas-dua belas dari upah kuli keranjang ikan di pasar.