Laporan wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Ratminah (50), tak kuasa menahan air matanya saat menceritakan kondisinya setelah lapak dagangannya dibongkar petugas awal pekan lalu.
"Tidak bisa saya (menuturkan) yang begini-gini," kata Ratminah, sembari menyeka air matanya, saat ditemui TribunLombok.com, Jumat (7/4/2023).
Wanita paruh baya itu hanya bisa meratapi puing-puing lapaknya sembari tetap bertahan.
Siang itu, Ratminah nekat membuka lapaknya meski tanpa lapak beratap lagi. Deretan botol bensin dan makanan ringan dijualnya.
Ia membangun lapak di samping Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lingkar Selatan. Di atas parit ia membangun lapak sederhana.
Baca juga: Berburu Jajanan Tradisinal di Pasar ACC Ampenan, Ada Klepon hingga Abuk
Lapak milik Ratminah menjadi salah satu lapak pedagang kaki lima (PKL) yang dibongkar tim Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kota Mataram, Senin (3/4/2023).
Setelah lapaknya dibongkar, ia hanya memanfaatkan meja berukuran satu meter persegi untuk dijadikan lapak.
"Kalau saya tidak jualan apa saya pakai makan, rumah saya ada, tapi saya pakai makan yang tidak ada," kata Ratminah haru.
Ratminah mengaku dirinya sudah hampir enam tahun berjualan di tempat yang sekarang. Ia mengaku hampir setiap tahun ada penggusuran lapak.
"Saya sudah dua kali disuruh berhenti jualan, tapi mau gimana lagi," lanjutnya.
Setelah lapaknya dibongkar beberapa waktu lalu, kini ia hanya memanfaatkan meja dan beratap terpal sebagai lapaknya.
Meja tersebut hanya dilapisi spanduk bekas minuman dan diatasnya di letakkan lemari kaca kecil untuk menaruh rokok.
Hari-hari Ratminah dihabiskan di lapak jualannya, mulai dari tidur, masak dan aktivitas yang lainnya dihabiskan di tempat jualannya.
Ratminah mengatakan, dia tidak berharap apa-apa, dirinya hanya ingin dibiarkan berjualan di tempat yang sekarang.
Pinjam Modal untuk Jualan
Ibu enam orang anak ini menceritakan, untuk membangun usaha ini, ia meminjam modal di bank keliling. Dengan jumlah setoran Rp 25.000 perhari selama 25 hari.
Lebih lanjut Ratminah mengatakan, penghasilan dari hanya berjualan bensin eceran tidak seberapa.
Hanya cukup untuk makan sehari, belum untuk biaya sekolah anaknya.
"Sehari kadang Rp 100.000 tapi itu tidak setiap hari, kayak kemarin sampai isya hanya satu jerigen yang laku," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Rumah yang ditinggali Ratminah saat ini merupakan bantuan rumah pascagempa. Namun rumah tersebut dihuni anaknya-anaknya, sementara ia tinggal di lapak jualannya.
Sejak lapaknya dibongkar pemerintah, Ratminah terpaksa kembali ke rumahnya dan harus tidur berdesakan dengan anak-anaknya.
Program Keluarga Harapan (PKH) yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu masyarakat kurang mampu juga tidak dirasakan manfaatnya oleh Ratminah.
Ia sempat menerima PKH selama setahun sebelum akhirnya dicabut.
Kini satu-satunya penghasilan yang dimiliki oleh Ratminah dari hasil jualan bensin eceran.
Ratminah menyampaikan harapannya untuk bisa menyewa lahan di belakang lapaknya. Nantinya ia akan membuat warung kopi di tempat tersebut.
"Mudah-mudahan saya bisa sewa tanah ini, biar saya tidak jualan di pinggir jalan kayak gini," tutupnya.
(*)