Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Pemberian kontrak Kerja sama Pemanfaatan (KSP) 11 titik lahan di Gili Trawangan antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) dengan Warga Negara Asing (WNA) menuai polemik.
Pada tahun 2022, pemprov NTB menerbitkan izin pemanfaatan lahan di Gili Trawangan kepada perusahaan atau perseorangan yang merupakan WNA.
Baca juga: Dinas Pariwisata NTB Proyeksi Raup PAD Hingga Rp 235 Miliar dari Lahan Pemprov di Gili Trawangan
Sejumlah pihak mengklaim tindakan Gubernur NTB Zulkieflimansyah yang memberikan izin pemanfaatan kepada WNA dinilai melawan hukum dan perlu ditinjau kembali.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengaku saat ini pihaknya sudah mengupayakan pembatalan kontrak kerja sama 11 lahan kepada WNA tersebut.
"Sudah dibatalkan yang 11 itu mestinya," kata Zulkieflimansyah kepada TribunLombok pada Rabu (8/3/2023).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu pun menyerahkan persoalan Gili Trawangan untuk ditanyakan kepada UPT Tramena yang telah pihaknya bentuk beberapa waktu lalu.
"Sudah ada UPT yang mengurus Gili Trawangan. Masalah perjanjian cukup ke kepala UPT sekarang. Nggak sampai gubernur," ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala UPT Tramena Dr. Mawardi, SH, MH mengaku hingga saat ini pihaknya belum membatalkan kontrak kerja sama pemanfaatan 11 lahan di Gili Trawangan.
Ia mengungkap sejumlah alasan mengapa pembatalan tersebut belum jua dilakukan.
Pertama, sebab masyarakat yang melakukan komplain sejatinya bukanlah pihak yang mempunyai kewenangan di 11 lahan tersebut. Pihak yang mempunyai kewenangan yang dirinya maksud adalah pihak yang merasa berhak atas lahan tersebut.
"Sampai hari ini kami belum batalkan. Kenapa? Pertama, orang yang komplain ini bukan orang langsung yang punya kewenangan di situ. Kita kan ada data. Makanya kami akan kaji dulu secara hukum, kenapa bisa terbit, kan ndak bisa kita membatalkan hanya dasar desakan masyarakat," jelasnya.
Pihaknya menggarisbawahi, 11 lahan tersebut tidak diperjualbelikan oleh pemprov NTB melaikan hanya kerja sama.
Mawardi menyebut, semua pihak perlu memahami bahwa dahulu setelah putus kontrak, dulu lahan seluas 65 hektare di Gili Trawangan dikerjasamakan pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) dalam bentuk kontrak produksi.
Kerja sama tersebut dilakukan selama 70 tahun dengan pemberian HGB tahap satu selama 30 tahun yang seyogianya tahap pertama akan berakhir pada 2026. Namun, pada 16 september 2021, pemprov NTH memutus kontrak tersebut.
Setelah putus kontrak dengan GTI, ia mengklaim kondisi di lapangan faktanya telah ada beberapa bangunan pada lahan tersebut hingga tahun 2021.
"Lalu pertanyaannya seperti apa sikap pemprov NTB? Sebab ini aset negara, berdasar sertifikat HPL No 1 tahun 1993 atas nama pemprov NTB. Setelah berkoordinasi dengan pihak kejaksaan, kepolisian, BPN, kementerian investasi, maka solusi atas lahan yang sudah ditempati oleh masyarakat dengan polah Kerjasama Pemanfaatan (KSP) atas lahan. Itulah yang kemudian dirumuskan dalam bentuk perjanjian kerja sama," terangnya.
Dr Mawardi melanjutkan, semua pihak boleh melakukan kerja sama asalkan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam perjalanannya, urusan ini dulu berada di bawah kendali satgas, kemudian sejak 2023 dipindahalihkan ke UPT Tramena.
Pada tahun 2022, diterbikan sebanyak 224 surat kerja sama / perjanjian pemanfaatan oleh BPKAD NTB. Pada 224 kerja sama tersebut sebanyak 11 kerja sama dikuasai oleh WNA.
"Tidak benar kami menjual aset, tetapi mengkerjasamakan dengan masyarakat, dan di dalam lahan itu juga kami bekerjasama dengan pihak asing melalui perusahaan. Itu kenapa timbul 11 perjanjian dengan WNA. Perjanjian ini ada yang terbit mulai Januari, Juni, November 2022," jelasnya.
"Dari 224 ini, sayalah yang memberikan informasi ke pimpinan bahwa ada 11 yang masih dikomplain oleh masyarakat," sambungnya.
Alasan berbeda
Kepala UPT Tramena menuturkan, penerbitan 11 kontrak kerja sama pemanfaatan ini dilatarbelakangi oleh sejumlah alasan yang berbeda.
"Saya garisbawahi, 11 ini case nya beda-beda. Secara prosuder, ini terbit sudah sesuai aturan perundang-undangan. Persyaraatn lengkap, bukti lengkap dari A-Z terpenuhi. Setelah terbit, ada masyarakat yang komplaim terhadap 11 perjanjian. Kenapa mereka diberikan, kenapa bukan masyarakat. Kalau perjanjiannya sama, tetapi kronologisnya berbeda," paparnya.
Untuk kasus pertama, ada penerbitan kerjasama yang dilakukan lantara perusahaan asing tersebut telah membayar ganti rugi kepada masyarakat.
Sebagai contoh, PT Green Horse Breket (luas 500 m⊃2;).
Berdasarkan data yang pihaknya miliki, nama pemiliknya Bunyamin, istrinya WNI. Dari dokumen yang ada, pemilik PT Green Horse Breket telah membayar ganti rugi kepada masyarakat baik untuk bangunan dan lahan ini sekitar Rp 1,8 miliar.
"Maka dialah yang menempati tempat itu, dan berusaha hingga kini. Data kami, SPPT atas nama pemilik PT Green Horse Breket, dan kalau kita runut ke belakang, justru masuarakatlah yang menempati secara ilegal tanah negara. Perusahaan ini sah, kenapa kita berikan ke dia? Karena dia punya bukti," terangnya.
Kronologis yang sama terjadi pada sejumlah perusahan asing di antaranya PT Villa Bella (1.300 m⊃2;); PT Pondok Damai Halyma (1.500 m⊃2;); PT John Apples Indo (300 m⊃2;); PT Vodo Gili Trawangan (1.200 m⊃2;); PT Thunder Road Lombok (656 m⊃2;); PT Sea Salt and Sun (2.506 m⊃2;); dan PT Facinasian (600 m⊃2;).
Kasus yang sedikit berbeda terjadi pada PT Global Okat Tiraket (1.955 m⊃2;)
"Mereka sudah berusaha di situ, lalu ada lahan di samping tempat usahanya yang tidak ada orang yang mengajukan permohonan. Akhirnya karena tidak ada yang mengajukan, pemilik PT Global mengajukan. Kebetulan istrinya WNI, suami asli Turki," jelasnya.
"Di kemudian hari ada yang komplain, ada warga yang mengaku menempati lahan. Bawa SPPT, kita crosscheck kembali tahun 2023. Ini tidak ada ganti rugi ke warga, karena ini lahan kosong. Dan dia belum membangun," ungkapnya.
Selain 9 perusahaan asing, dari 11 lahan yang lahir kontrak kerja sama pemanfaatan tersebut, dua lahan diberikan kepada perseorangan.
Seperti Katara Hotel (300 m⊃2;). Pemiliknya seorang perempuan yang ber-KTP Lombok Utara. Tetapi suaminya WNA.
"Awalnya begini, perjanjian awal sewa-menyewa dengan masyarakat. Pada perjalanannya, muncul perjanjian atas nama Katara Hotel. Kita selidiki ternyata, dia kan penyewa statusnya ke orang lokal, sebagian bangunan sudah ada di situ, terbit atas nama penyewa. Kenapa? Ternyata yang lokal ndak mengajukan permohonan," teranganya.
Kemudian 1 lahan lagi yang dikuasai perseorangan adalah Klinik Kesehatan (73 m⊃2;). Pemiliknya warga Lombok yang bersuami warga Inggris.
"Kenapa masyarakat ada yang mengajukan dan tidak? Pertama, karena dulu masyarakat ada yang berharap bisa menjadi hak milik, karena merasa warisan. Tetapi itu kan tidak bisa," ungkapnya.
Ketika disinggung soal dasar ganti rugi yang diberikan kepada warga oleh perusahaan asing tersebut, Dr Mawardi pun mengaku mempertanyakan hal tersebut.
Pihaknya juga melihat itu sebagai suatu persoalan.
"Pertama ini tanah negara, tapi ketika HGB nya dipegang PT GTI, peristiwa ini berlalu begitu saja. Tidak ada yang atensi. Peristiwa hukumnya berlangsung saat masih dipegang GTI. Setelah kita cek, banyak sekali praktik di lapangan. Ada peralihan hak, ada ganti rugi, sewa-menyewa," bebernya.
"Tidak ada yang komplain pada saat proses, komplainnya pascaditerbitkan kerja sama," jelasnya.
Kemudian perihal alasan tak melakukan "beauty contest" dalam menentukan pihak kerjasama, Dr Mawardi mengaku pemprov NTB menggunakan aturan terbaru yang terbit pada 2022.
"Kita pakai aturan terbaru. Tapi tanya saja biro hukum kenapa menggunakan skema ini. Mereka yang memproses perjanjian ini," terangnya.
Perlu ditinjau kembali
Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir menilai tindakan Gubernur NTB telah melawan hukum.
“Menurut saya agar ditinjau kembali bahwa proses penjualan aset itu, harus dinyatakan bahwa dilakukan secara melawan hukum,” kata Muzakir.
“Nah karena dia cara prosesnya melawan hukum maka kontraknya harus dibatalkan, dan gubernur (serta) pemerintah wajib mengembalikan pada posisi semula. Bahwa aset-aset yang telah dijual itu dikembalikan menjadi milik pemerintah daerah (Pemda) atau pemerintah Indonesia,” lanjutnya.
Pasalnya, ia menyebut bahwa jika aset pemerinta ingin dijual, maka harus melewati prosedur hukum yang sah seperti misalnya melalui persetujuan DPR. Oleh karena itu, dalam kasus ini ia dapat memastikan bahwa hal ini sudah mengandung kecacatan hukum.
"Oleh sebab itu sebaiknya pemerintah dalam hal ini Pemda untuk membatalkan kontrak penjualan aset Gili Trawangan itu untuk dikembalikan kepada Pemda,” jelasnya.
“Atau dulu malah mungkin dikelola oleh pusat agar supaya tidak dijual dalam satu bagian daripada (terjadi seperti) ini,” sambungnya.
Terlebih, sambung guru besar UII itu, pemerintah potensial meraup banyak wisatawan ke Gili Trawangan, melalui berbagai acara internasional. Ini dinilai dapat menjadi peluang bagi negara dalam memajukan pertumbuhan ekonomi. (*)