"Yang perlu dicatat bahwa Ciguatera itu tidak ada di perairan NTB. Semua ikan-ikan yang hidup di terumbu karang masih aman untuk dimakan. Ini perlu diberitahu agar tak meresahkan masyarakat," katanya.
Rektor Universitas Institut Teknologi Tndonesia (ITI) Dr Marzan A Iskandar mengatakan, saat ini merupakan momentum yang sangat baik untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya CFP.
Masalah ini telah menjadi isu global ini kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan seluruh pemangku kebijakan di pemerintahan, perguruan tinggi dan berbagai lapisan masyarakat, termasuk di NTB.
CFP muncul karena meningkatnya kegiatan manusia di wilayah pesisir serta karena adanya perubahan iklim serta pemanasan global.
Hal ini mengakibatkan banyaknya kerusakan terumbu karang sehingga memicu munculnya penyakit Ciguatera karena mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi Ciguatoxin.
Riset tentang Ciguatera Fish Poisoning ini juga didukung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Rumah Program Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN dalam penelitian tentang Potensi Ancaman Fenomena Marak Alga Berbahaya (MAB) dan Ciguatera Fish Poisoning (CFP) dalam Kaitannya Dengan Aktivitas Manusia di Kawasan Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Gili Matra, Lombok.
Sekda NTB Drs. H. Lalu Gita Ariadi M.Si mengatakan hasil riset dan workshop yang dilakukan oleh The North Pacific Marine Science Organization (PICES), BRIN dan peneliti dari sejumlah kampus di Tanah Air tentang CFP ini diharapkan tak hanya menjadi bahan kajian akademik saja.
Namun bagaimana ke depan bisa menjadi pintu masuk penyusunan formula kebijakan pemerintah berupa regulasi.
"Pada kegiatan yang akan datang bisa dihadirkan kementerian atau lembaga teknis dan unsur pengambil kebijakan seperti DPR, DPD agar bisa menghasilkan sebuah regulasi berupa Undang-Undang untuk menjaga kelestarian lingkungan," katanya. (*)