Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Usai mendapat penangguhan penahanan dari pihak kepolisian, Murtede alias Amaq Sinta (34) akhirnya bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Sebelumnya, Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka lantaran membunuh begal yang coba merampoknya.
Kasus yang menimpanya menarik simpati publik.
Baca juga: Korban Begal Jadi Tersangka, Pusat Bantuan Hukum Minta Kasus Amaq Sinta Dihentikan
Baca juga: Polisi Tangguhkan Penahanan Amaq Sinta, Korban Begal di Lombok Tengah yang Jadi Tersangka Pembunuhan
Pakar Hukum Universitas Mataram (Unram), Prof Zainal Asikin menyampaikan pandangannya ihwal permasalahan tersebut.
Dosen Hukum Unram itu mencermati persoalan hukum yang terjadi di Lombok Tengah itu.
Pandangan Prof Zainal Asikin berangkat atas dasar dua hal.
Pertama, terdapat dugaan Amaq Sinta melakukan pembunuhan terhadap begal.
Kedua, di sisi lain oleh masyarakat “dianggap sebagai" upaya pembelaan diri, sehingga dianggap tidak pantas untuk dilakukan penyidikan dan dijadikan tersangka.
Secara teoritis, pakar hukum yang kerap disapa Kang Ikin itu membagi pandangannya menjadi 2.
Berdasarkan Kajian Pasal 48 KUH Pidana yang Berkaitan dengan Daya Paksa
Konsep overmacht atau yang sering disebut sebagai daya paksa, kata Asikin merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana Indonesia.
Hal ini tampak pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah mencantumkan hal tersebut di dalamnya.
Pada Pasal 48 KUHP, dinyatakan bahwa:
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”