Pendidikan
Cegah Kasus Kekerasan di Lingkungan Pendidikan, Polres Loteng Kampanyekan 'Rise and Speak'
Polres Lombok Tengah melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kampanyekan "Rise and Speak" di berbagai sekolah di wilayah.
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Sejumlah kasus kekerasan fisik hingga kekerasan seksual marak terjadi di Lombok Tengah, NTB.
Terbaru kasus kematian seorang satri berinisial AZ, tewas ditendang oleh teman sekamarnya di Pondok Pesantren Al Azhar Sadah, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah, NTB.
Santri berusia 13 tahun itu mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya terbentur tembok. Pimpinan ponpes juga dipolisikan lantaran diduga lalai mengawasi santrinya.
Menyika peristiwa itu, Polres Lombok Tengah melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kampanyekan "Rise and Speak" di berbagai sekolah di wilayah Kabupaten Lombok Tengah.
Hal itu sebagai upaya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan terhadap pelajar dan kelompok rentan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk membangun kesadaran dan keberanian di kalangan pelajar dan kelompok rentan agar berani melawan serta melaporkan segala bentuk kekerasan yang mereka alami atau saksikan.
"Melalui kampanye "Rise and Speak" kami ingin menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan bukanlah hal yang bisa dianggap sepele, kami ingin setiap individu, terutama para pelajar dan kalangan rentan untuk tidak takut bersuara dan berani melaporkan jika mereka atau orang sekitar mereka menjadi korban kekerasan seperti bullying, kekerasan verbal maupun pelecehan seksual," kata Kanit PPA Aiptu Pipin Setyaningrum, dalam keterangannya, Kamis (14/8/2025).
Baca juga: 4 Fakta Nomor WhatsApp Bupati Lombok Tengah Diretas, Puluhan Juta Raib Digondol Penipu
Pipin menyampaikan tujuan utama dari kegiatan ini untuk menghancurkan tembok ketakutan yang seringkali membuat korban bungkam terhadap kekerasan yang dialaminya.
"Kami ingin setiap anak, setiap perempuan, dan setiap individu bahwa suara mereka penting."Rise and Speak" bukan hanya sekadar slogan, melainkan sebuah gerakan untuk membangun sistem perlindungan yang kuat, dimulai dari keberanian personal," ujarnya.
Ia menyampaikan pencegahan dan penanganan kekerasan tidak bisa dilakukan oleh Polri saja, akan tetapi peran serta semua pihak terkait seperti pemerintah daerah, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dengan kerja sama ini, kita bisa menciptakan jaringan perlindungan yang solid bagi mereka.
Tidak hanya kekerasan fisik, kekerasan seksual di Lombok Tengah juga kerap terjadi.
Pada 13 Januari 2025 lalu, Satreskrim Polres Lombok Tengah menetapkan oknum pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Pringgarata inisal TH sebagai tersangka dugaan pelecehan sesksual kepada santrinya.
Saat ini kasustersebut telah sampai pada sidanga pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, Selasa (1/7/2025).
Jaksa mengungkap beberapa aksi bejat yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren tersebut kepada santriwatinya.
Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, I Made Juri Imanu, mengatakan, pimpinan salah satu Pondok Pesantren di Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah ini diduga melakukan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang juga merupakan santri watinya.
"Karena Terdakwa MT merupakan pimpinan ponpes yang memiliki relasi kuasa dengan anak korban sehingga anak korban dapat dengan mudah dibujuk rayu oleh Terdakwa MT untuk bersetubuh," jelas I Made Juri dalam keterangan resmi, Kamis (3/7/2025).
Dikatakan I Made Juri, sebelumnya terdakwa MT juga pernah memaksa anak korban untuk bersetubuh di ruang kelas pondok pesantren.
Aksi bejat tuan guru tersebut bersesuaian dengan fakta persidangan yang berkaitan dengan serangkaian alat bukti yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dalam proses persidangan.
Pihaknya menilai bahwa perbuatan terdakwa MT telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh tenaga pengajar sebagaimana yang diatur dalam dakwaan alternatif kedua.
Oknum tuan guru melanggar Pasal 81 ayat (2) Jo (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ke Dua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Atas perbuatannya, JPU menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan:
Pidana penjara selama 19 (sembilan belas) tahun;
Pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.