Opini

Merah Putih vs One Piece, Alarm Defisit Nasionalisme

Kesukaan pada satu simbol seperti film acap kali membuat seseorang abai dengan sisi negatif yang ada di baliknya.

|
Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Prof. Dr. Kadri, M.Si 

Prof. Dr. Kadri, M.Si
*Guru Besar, Ketua Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDeK) UIN Mataram

Salah satu konten perbincangan publik yang sedang viral di bulan kemerdekaan tahun 2025 ini adalah adanya keinginan beberapa warga negara (khususnya anak muda atau generasi Z dan milenial) untuk mengibarkan bendera one piece.

Pengibaran tersebut juga hendak dilakukan dengan cara beragam, mulai dari pengibaran tunggal bendera one piece sebagai pengganti bendera merah putih hingga pengibaran tandem keduanya. 

Namun ada juga yang lebih kompromistis dengan merencanakan mengibarkan keduanya dengan posisi yang tidak sejajar; bendera merah putih digantung lebih tinggi dari bendera one piece. 

Setidaknya teridentifikasi dua kegagalan di balik fenomena bendera one piece dalam suasana peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun ini; pertama, kegagalan beberapa anak bangsa dalam memahami secara utuh makna simbolik di balik bendera one piece karena di balik aspek positif dari cerita anime tersebut terdapat banyak nilai negatif yang menyertainya. 

Kedua, kegagalan pegiat pendidikan formal dan informal dalam mengedukasi nilai historis dan makna filosofis bendera merah putih kepada generasi Z dan milenial sehingga kecintaan mereka terhadap bendera nasional tersebut tidak maksimal, bahkan hendak “disisihkan” oleh bendera lain yang bersumber dari dunia hayalan yang ditampilkan dalam film animasi. 
  
Sebenarnya apa sih bendera one piece ini sehingga diidolakan oleh generasi Z dan milenial, bahkan hendak disejajarkan atau lebih hebatnya lagi diniatkan untuk mengganti bendera merah putih yang akan dikibarkan saat perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun ini. 

Baca juga: Spoiler One Piece Chapter 1157: Kisah Shakky, Bar Legendaris, dan Pesonanya di Hachinosu

Dalam beberapa sumber (seperti situs web fandom) dijelaskan bahwa istilah one piece berasal dari film animasi karya Eiichiro Oda yang menceritakan petualangan komplotan bajak laut pemburu harta karun. 

Istilah one piece sendiri merujuk pada harta karun yang dijanjikan raja bajak laut legendaris, Gol D. Roger. Janji dan iming-iming inilah yang mendorong para petualang dalam cerita film ini memperlihatkan semangat perjuangan dengan beragam karakter.
 
Film anime dengan tokoh utamanya Monkey D. Luffy tersebut tidak hanya menceritakan kisah petualangan kawanan bajak laut tetapi juga memperlihatkan makna persahabatan dan tekad yang tak tergoyahkan mengarungi lautan ganas dengan berbagai tantangan dan musuh yang selalu mengancam hanya untuk menemukan harta karun one peice. 

Bagi pimpinan komplotan, Luffy, petualang ini adalah tekadnya untuk menjadi raja bajak laut yang akan memimpin kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu one piece juga melambangkan kebebasan, pentingnya persahabatan, dan kekuatan tekad dan impian untuk membawa perubahan dalam hidup ke arah yang lebih baik. 

Atas dasar inilah banyak anak muda menggunakan bendera one piece yang bergambar tengkorak manusia di atas dua tulang menyilang dengan topi jerami khas-nya Luffy sebagai tokoh utama anime tersebut untuk merepresentasikan kebebasan dan keinginan mereka untuk melawan ketidakadilan di republik ini.
 
Dalam suatu simbol seperti bendera one piece tentu tidak bisa merepresentasikan makna tunggal. Ada sisi positif dan juga terdapat aspek negatifnya. Boleh saja bagi pencinta one piece berdalih dengan nilai positif seperti simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan tekad membawa perubahan tetapi tidak boleh abai dengan makna negatif dari simbol dan cerita one piece. 

Kebanyakan orang pasti memiliki konotasi negatif tentang bajak laut karena komplotan tersebut tidak hanya menjadi momok bagi pelaut tetapi juga disebut sebagai komplotan jahat yang hendak mewujudkan obsesinya dengan cara-cara kekerasan tanpa mengindahkan aturan yang berlaku. 

Artinya bendera one piece bukanlah simbol paripurna sehingga tidak tepat untuk dikibarkan di tengah momentum rakyat mengagungkan bendera merah putih sebagai simbol kebangsaan yang memiliki nilai historis sarat makna.
 
Kesukaan pada satu simbol atau suatu produk atau satu karya seni seperti film acap kali membuat seseorang abai dengan sisi negatif yang ada di baliknya. Bila ini tidak disadari maka seseorang akan hanyut dalam fanatisme buta karena sikap kritis tidak disertakan di dalam memahami dan memaknai keberadaannya. 

Bila ini yang terjadi maka tanpa disadari oleh kita di saat menikmati dan senang terhadap sesuatu yang kita idolakan, pada saat bersamaan terinternalisasi nilai-nilai negatif yang inplisit ada di dalamnya. 

Sebagai contoh, di saat anak-anak kita tertawa karena lucunya film kartun Tom and Jerry, pada saat bersamaan tertanam nilai-nilai kekerasan atau setidaknya sang anak akan permisif dengan kekerasan fisik dan verbal yang terjadi di lingkungannya. 

Kecenderungan ini diperkuat oleh asumsi teori Kultivasi (Cultivation Theory) dari George Gerbner yang menyebut bahwa tanpa disadari oleh konsumennya, media massa menanamkan nilai-nilai tertentu yang lambat laun nilai tersebut akan menjadi karakter dan budaya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved