Opini

'Armuzna' Jejak Cinta Menuju Sang Kekasih Abadi

Arafah adalah tempat munajat dan tangisan, tempat mengaku dosa dan menggantungkan cinta sepenuhnya kepada-Nya

Editor: Idham Khalid
Dok.Istimewa
Dr H Ahsanul Khalik. Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Gubernur Provinsi NTB Bidang Sosial. 

Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Setiap muslim yang menunaikan ibadah haji sesungguhnya sedang memulai sebuah perjalanan cinta, bukan sekedar perjalanan fisik ke Makkah dan Madinah, namun sebuah pendakian spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam rangkaian puncak haji, tiga tempat utama, yaitu Arafah, Muzdalifah, dan Mina atau yang biasa disingkat dengan istilah Armuzna, menjadi simbol penting dalam perjalanan rukhani ini.

Bukan tanpa alasan, Rasulullah, SAW bersabda, "Al-ḥajju ʿArafah" ("Haji itu Arafah") (HR. Tirmidzi, no. 889). Ini menandakan betapa pentingnya titik awal dalam puncak ibadah haji itu, yang membawa setiap muslim ke dalam sebuah refleksi terdalam sebagai hamba. Di sinilah di Arafah menjadi padang penyerahan dan cinta yang jujur.

Di Arafah, jutaan manusia berkumpul dengan satu pakaian, satu niat, satu harapan. Semua perbedaan status, jabatan, dan gelar ditanggalkan. Di Arafah ditemukan esensi tauhid yang terasa semakin kuat,  bahwa setiap jemaah haji sebagai insan  semuanya adalah hamba yang tak memiliki apa-apa selain pengharapan kepada Allah semesta alam.

Arafah adalah tempat munajat dan tangisan, tempat mengaku dosa dan menggantungkan cinta sepenuhnya kepada-Nya, sebagaimanan ditegaskan : "Kemudian apabila kamu bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (Muzdalifah)..." (QS. Al-Baqarah: 198). Ini bukan sekedar instruksi berpindah tempat, tetapi seruan untuk berpindah hati, dari keterikatan dunia ke penghambaan total.

Ibnu Qayyim berkata, “Hari Arafah adalah hari cinta dan pengampunan. Di sanalah hati-hati kembali kepada Tuhannya dalam keadaan paling jujur.”

Baca juga: Jelang Kembali ke Tanah Air, 9 Jemaah Haji NTB Meninggal Dunia

Setelah Arafah, Jemaah bergerak ke Muzdalifah, untuk menjernihkan cinta, di sini dalam suasana syahdu bersama malam di antara indahnya kerlip bintang di langit yang terbuka, para jemaah haji beristirahat tanpa kemewahan, hanya berserah pada-Nya. Tidak ada suara bising, tidak ada aktivitas berat, hanya keheningan dan kesadaran.

Di tempat inilah jemaah haji sebagai seorang hamba belajar bahwa cinta butuh hening, cinta butuh jeda, sebagaimana Firman-Nya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, bahkan berzikirlah lebih dari itu...” (QS. Al-Baqarah: 200).

Muzdalifah mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Allah tidak muncul dari keramaian, tetapi dari hati yang merenung dalam diam, mengumpulkan kekuatan untuk melawan bisikan syaitan, yang disimbolkan dengan pengumpulan batu untuk melontar jumrah.

Setelah bermalam sejenak di Muzdalifah hingga tengah malam atau menjelang subuh, perlahan jama'ah beranjak menuju Mina, sebaga medan perjuangan dalam meneguhkan cinta. Di sini di Mina, cinta diuji. 

Di sinilah semua jemaah haji diperintah untuk melontar batu ke arah tiga jumrah, yang merupakan simbolisasi dari titik-titik godaan yang menyerang manusia: ragu, nafsu, dan keangkuhan.

Sesungguhnya lemparan ini sebagai bentuk nyata melawan syaitan, mengikuti jejak Nabi Ibrahim yang menggagalkan bujukan Iblis ketika hendak menyembelih Ismail. Ini bukanlah sekedar aksi fisik, tapi simbol sumpah ruhani: "Ya Allah, aku ingin mencintai-Mu lebih dari diriku, lebih dari dunia, lebih dari segala yang melalaikan."

Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Jangan kamu sangka bahwa melempar jumrah itu hanya urusan batu. Ia adalah melemparkan syaitan dari hatimu, tempat paling ia cintai.”

Begitulah perjalanan fisik dan rukhani yang menjelajah Armuzna, menjadi jalan cinta yang mengembalikan insan kepada-Nya. Armuzna sejatinya adalah gambaran perjalanan hidup. Arafah mengajarkan pengakuan dan pengharapan, Muzdalifah melatih diam dan merenung, dan Mina mengajarkan keberanian untuk berubah.

Ketiganya membentuk sebuah narasi cinta yang utuh,  cinta yang diawali dengan kesadaran akan salah dan dosa, dilanjutkan dengan ketenangan jiwa, dan diakhiri dengan perjuangan. Setelah itu, barulah jiwa layak berkata: "Labbaik Allahumma Labbaik", dengan makna yang lebih dalam: Aku datang kepada-Mu bukan hanya secara fisik, tapi juga dengan seluruh jiwaku.

Halaman
12
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved